9

Syauqi Sumbawi
Chapter #12

12

KEHIDUPAN DUNIA hanya sementara. Ibaratnya, hanya mampir untuk minum. Kita harus mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya, dan sebaik-baiknya. Karena perjalanan berikutnya adalah pasti. Kemudian dengan bekal itulah, yakni amal shalih, tempat manusia ditentukan.

Begitulah kira-kira inti wasiat khutbah Abah Dullah pada jum’at lalu yang masih diingat oleh Ib. Lantas, apakah makna hidup itu?!

Tentunya, semua orang tidak akan sepakat dengan ibarat di atas. Kebenarannya bersifat relatif, demikian komentar orang terhadap pendapat yang diungkapkan oleh makhluk yang disebut manusia itu. Hanya orang yang memiliki pandangan yang sama saja, yang mau mengakui kebenarannya.

Bisa jadi seperti itu. Karena tidak dipungkiri, banyak pendapat lain terkait makna hidup. Misalnya, hidup adalah panggung sandiwara. Hidup untuk beribadah kepada-Nya. Hidup hanya menunda kekalahan. Hidup melawan lupa, dan sebagainya. Bahkan, Ib juga ingat tafsiran lain tentang hidup yang diibaratkan mampir minum itu. Tafsir konyol, tepatnya.

“Katanya, hidup itu mampir ngombe. Mampir minum. Maka, dimana lagi tempat yang lebih baik daripada warung minuman?! Ayo, minum lagi!” Demikian kata Lik Kusnan ketika masih nakal-nakalnya. Kata-kata yang keluar bersama bau minuman keras yang menyebar dari mulutnya.

Kini, pendapat Lik Kusnan tentang hidup pasti berbeda. Mungkin juga dia sepakat dengan Abah Dullah. Mungkin juga yang lainnya. Dan kira-kira, apakah makna hidup bagi kekasih-Nya?!

***

 

LEPAS SUBUH. Perlahan langit membuka sinar terangnya. Lokasi makam Sunan Maulana Malik Ibrahim tak terlalu riuh dengan suara bacaan al-Qur’an, tahlil, dan dzikir. Hanya beberapa orang peziarah saja yang terlihat di sana. Sendiri-sendiri. Tak tampak pula mereka dalam rombongan. Mung-kin lelah perjalanan menghadirkan waktu untuk sejenak istirah. Atau jadwal perjalanan ziarah yang memang belum waktunya untuk tiba di sana.

Di kejauhan, deru knalpot kendaraan terdengar. Sebuah aktivitas keseharian yang harus dilakukan agar hidup terus bergulir. Yah, bagi umumnya orang, ziarah adalah sebuah perjalanan lain dari hidup, dimana waktu bertemu. Masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ketiganya saling menyapa dan berangkulan dalam diri seorang peziarah.

Pada sebuah tiang penyangga atap di bagian sebelah barat makam, Ib duduk. Dia telah di situ selepas shalat berjamaah lalu. Meneruskan bacaan surat Yaasin. Suaranya terdengar lirih dengan tempo yang perlahan. Seperti merenungkan apa yang dibacanya.

“Ketika kita membaca al-Qur’an, maka saat itu kita sebenarnya sedang berbicara dengannya. Dia berbicara dengan kita. Dan jika kita menyadari keberadaan kita sebagai orang yang diajak bicara, maka sudah selayaknya kita menjadi teman bicara yang baik.”

Begitulah kata Pak Bakrun, yang masih diingat oleh Ib. Dalam penjelasan berikutnya, dia mengungkap sebuah perumpamaan.

“Misalnya, ketika kita membaca atau diberitahu oleh al-Qur’an, “qul huwallahu ahad”, atau “Katakan! Tuhan itu Esa”, apakah kita juga akan mengatakan perintah yang sama?! Mengulangi kata perintah itu?! Sebagai teman bicara yang baik, tentunya kita akan membenarkan kata-kata itu. Menyakini dan menyaksikan bahwa Allah itu Esa. Karena memang itulah yang sebenarnya.

“Kemudian, kita sering menemukan terjemahan, ‘Kata-kan [hai Muhammad]! Tuhan itu Esa.’ Memang begitulah. Tapi, terjemahan itu tak selalu tepat. Tergantung pada kon-teks, siapa yang diajak bicara. Benar, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassallam. Tetapi juga untuk disampaikan kepada umat manusia. Termasuk aku dan kau sendiri, Ibrahim Mustafa. Karena itu, ketika aku yang membacanya, maka sebenarnya bunyi terjemahan itu adalah “Katakan [hai Bakrun]! Tuhan itu Esa.”

Sejak itulah, Ib berusaha menjadi “teman bicara yang baik”, ketika membaca al-Qur’an. Untuk mengetahui pesan yang terkandung di dalamnya, dia pun tak ragu-ragu membaca terjemahan dan tafsirnya, sebagai langkah awal untuk memahaminya. Kini, pada tiang penyangga atap lokasi makam Sunan Maulana Malik Ibrahim itu, dia sedang merenungkan pesan yang terkandung surat Yaasin, yang tidak lain adalah untuk dirinya.

***

 

EMPATPULUH kali membaca surat Yaasin telah diselesai-kannya. Kini, di aula lokasi makam sunan Maulana Malik Ibrahim, Ib tengah berkemas. Baju yang dikenakannya telah berganti. Bukan sarung, kemeja panjang koko, tetapi celana panjang dan kemeja pendek kotak-kotak. Dia pun telah menyimpan peci hitam, yang biasa dikenakannya ketika shalat dan berziarah ke makam, ke dalam tas ranselnya. Sementara air dari peninggalan sumur Sunan Maulana Malik Ibrahim pun telah tersimpan dalam botol minumannya.

Ib tahu, selalu ada sumur di lokasi makam para Walisongo. Hal ini menunjukkan arti penting air dalam kehidupan manusia. Bukan hanya untuk minum, mandi, mencuci, dan kebutuhan harian lainnya, tetapi juga untuk bersuci dari najis dan hadats, yang tidak lain merupakan syarat untuk beribadah kepada Tuhan menurut syariat Islam. Karena itu tidak heran, jika bab thaharah selalu menjadi pembahasan pertama dalam kitab-kitab fiqh.

Pada sudut pandang yang lain, keberadaan air menjadi petanda atas kehidupan masyarakat. Sederhananya, kehidupan masyarakat pada suatu daerah yang persediaan airnya melimpah pasti akan lebih cepat berkembang daripada daerah yang persediaannya sedikit sekali. Karena itu, tidak heran jika daerah di sekitar makam para Walisongo, menjadi pusat-pusat baru dari aktivitas kehidupan masyarakat. Tentunya, hal di atas akan berbeda dengan perspektif lain yang lebih kompleks, salah satunya kajian geopolitik. Apalagi pada masa kolonialisme Hindia-Belanda dan sesudahnya.

***

 

BERSAMA DOA tertancap di hatinya, Ib pun melangkahkan kaki. Terasa mantap melewati gapura pintu keluar lokasi makam. Di lengkung langit, matahari masih bersinar cerah, meskipun terus merambat ke ujung senja. Limabelas lebih tigapuluh menit lebih sekian detik, demikian waktu tertanda di arloji pada lengan kirinya.

Lihat selengkapnya