9

Syauqi Sumbawi
Chapter #13

13

WARNA TANAH ini, adalah warna yang sama dengan tanah pemberian ayah. Tanah tempat hidup di dunia. Tanah untuk menyapa, kapal dari pulau-pulau yang terapung di lautan, mengikat guru dan siswa. Tanah bersemayamkan jenazah. Karena laut telah mengantar akhir perjalanannya. Ke puncak bukit.

***

 

MASIH MERAMBAT ke ujung senja. Pada buk yang membatasi, sekaligus menahan area lokasi parkir dari longsor ke jalan aspal yang terbentang di bawahnya, Ib duduk menatap ke puncak bukit. Di balik rimbun daun pepohonan di atas sanalah, makam Sunan Giri berada. Melalui jalan bertangga yang terbangun di sebelah kanan dan kirinya, sebagian peziarah naik dan sebagian lagi turun. Datang dan pergi, seperti senja yang sebentar lagi akan menepi, digantikan datangnya malam.

Di bawah bayang-bayang senja yang memanjang, orang-orang tampak bertebaran di sekitar. Para kusir dokar angkutan khusus peziarah datang dari arah bawah, lalu mengambil tempat antrian, untuk membawa kembali ke lokasi parkir bus pariwisata. Kira-kira satu kilometer di bawah sana. Begitu pula dengan para tukang ojek khusus peziarah, yang tampak berjejer di trotoar jalan.

Tidak sedikit pula di antara para peziarah yang berjalan kaki dari lokasi parkir bus itu. Namun setelah itu, hangat keringat dan lelah segera terlihat di raut wajah mereka yang sebagian besar berwarna coklat. Sawo matang, demikian perumpamaan warnanya. Maklumlah, jalanan menanjak. Dan ruas jalan yang tidak terlalu lebar, menjadikan langkah mereka agak tersendat oleh berbagai kendaraan yang ber-lalu-lalang. Juga yang berparkir di sana. Entah, bagaimana rasanya jika di siang hari yang nyalang. Tentu hal itu akan lebih banyak mengucurkan keringat. Mempertebal lelah dan dahaga.

Hanya mobil pribadi, mobil carteran selain bus, dan sepeda motor saja yang boleh parkir di area itu, dimana Ib tengah terdiam bersama pikirannya. Sementara arloji di lengan kirinya menunjukkan pukul tujuhbelas lebih lima menit dan sekian detik.

Sejenak terdengar suara dari corong-corong speaker masjid dan mushala kawasan perkampungan di seberang jalan. Sebuah syi’iran. Dan pemilik suara itu sangat akrab di telinganya. Suara yang mirip dengan suara Gus Dur itu di-jama’i para jamaahnya. Syi’ir tanpa waton, demikian judulnya, yang juga kerap terdengar di masjid dan mushala kampung halamannya. Juga di desa-desa tetangga.[1]

Yah, untuk daerah Surabaya dan sekitarnya, hampir setiap mendekati waktu shalat wajib, syi’ir itu selalu terdengar di udara sejak beberapa tahun yang lalu. Seperti menegaskan kepribumian dalam keberagamaan masyarakatnya.

***

 

PRIBUMISASI ISLAM, demikian konsep Gus Dur terkait relasi harmonis antara Islam dan budaya dalam kehidupan masyarakat dimana pun berada, baik di kawasan Timur Tengah, India, Persia, Cina, Indonesia, dan sebagainya. Termasuk budaya masyarakat Jawa. Ib pernah membaca buku-buku terkait konsep dan pemikiran Gus Dur itu.

Kendati tak terlalu dalam, Ib cukup memahami bahwa pribumisasi Islam menunjuk pada rekonsiliasi antara Islam—yang universal— dan budaya—yang partikular—, yang diarahkan untuk kemaslahatan hidup umat manusia secara umum. Gagasan ini bukan dimaksudkan sebagai jawanisasi atau sinkretisme. Bukan pula sebagai upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, tetapi menjaga kelestarian budaya itu sendiri. Bahkan, pribumisasi Islam merupakan kebutuhan untuk menghindari polarisasi destruktif antara agama dengan budaya.

Lihat selengkapnya