BAGI MEREKA yang hidup di pesisir pantai dan bermata pencaharian sebagai nelayan, laut merupakan pusat aktivitas ekonomi, dimana beragam ikan dan kekayaan biotanya adalah aliran rezeki yang mengantarkan untuk mencukupi segala kebutuhan hidup. Sedangkan mereka yang hidup jauh dari laut, pasti akan memiliki pandangan yang berbeda. Kendati berbagai fasilitas hiburan dan permainan tersedia untuk melengkapi keindahan alamnya, tetapi laut barangkali hanya cukup sebatas destinasi wisata untuk rekreasi.
Kemudian bagi para pedagang antar pulau, laut adalah jarak yang mereka tempuh dengan kapal-kapal untuk mengirimkan berbagai macam barang ke seluruh pulau yang ditujunya. Tentunya, hal ini berbeda dengan pandangan seorang pengembara, yang melihatnya ibarat satu sisi dari dua sisi koin. Lautan dan daratan, bersekutu menciptakan “dunia” pengembaraan. Hingga mereka pun mengetahui jawaban atas pertanyaan, kemana mereka akan kembali?!
Yah, mungkin itulah yang ditunjukkan oleh bagian yang melingkari koin itu. Sebuah ibarat pengembaraan yang tak memiliki awal dan akhir. Mungkin ketebalan dan ketipisannya saja yang menjadi batas waktu dan kehidupannya di dunia.
Dalam buku atlas dan peta Indonesia, Ib pernah membaca bahwa luas wilayah tanah airnya, dua pertiga bagiannya adalah lautan. Sementara sepertiga sisanya adalah daratan, yang merupakan jumlah total dari luas daratan belasan ribu pulau, yang terpencar melukis gambar petanya yang khas. Dengan jumlah pulau inilah—besar maupun kecil—, maka Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Lantas, apakah makna laut untuk bangsa Indonesia terkait kesatuan wilayahnya?! Wawasan Nusantara, demikian konsep yang menjadi tumpuan bagi integrasi Indonesia. Dalam hal ini, laut bukanlah pemisah, melainkan pemersatu pulau-pulau yang ada di dalamnya. Juga masyarakatnya yang berbeda-beda, baik ras, agama, suku, budaya, dan sebagai-nya, namun tetap satu Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, demikian slogan pemersatu bangsa dan negara ini.
Sebagaimana diketahui, jauh sebelum istilah Indonesia lahir, wilayah ini telah disebut Nusantara. Sejarah menyebutkan bahwa Mahapatih Gajahmada pernah bersumpah untuk mempersatukan wilayah Nusantara dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Sumpah Palapa, demikian sumpah itu diberi nama. Lantaran keberhasilan dalam mewujudkan sumpah tersebut, dia pun dikenal sebagai Mahapatih terbesar dalam sejarah Nusantara. Akan tetapi, sejarah pun menunjukkan bahwa penaklukan dan penguasaan wilayah yang dilakukan dengan kekuatan politik dan militer, tidak akan sanggup bertahan lama. Sepeninggal wafatnya, satu persatu wilayah tersebut memisahkan diri, menandai episode kemunduran kerajaan Majapahit.
Barangkali inilah salah satu bukti tambahan yang turut memperkuat mitos dalam kekuasaan, bahwa mempertahankan jauh lebih sulit daripada mendapatkannya. Apalagi kkuasaan tersebut diperoleh dengan kekuatan manusia yang terbatas. Lantas, pada beberapa ratus tahun berikutnya, Nusantara dikenal dengan nama lain yaitu Hindia-Belanda, yang dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal dari Belanda. Kini, pasca kemerdekaan, sebagian besar wilayah itu dikenal dengan nama Indonesia.
Dalam pikirannya tentang Nusantara perspektif Gajahmada, Ib tiba-tiba tersenyum. Wajahnya sumringah, seperti mendapatkan sesuatu yang berharga. Bukan harta benda, tetapi sebuah analisis spekulatif dari komparasi historis antara Mahapatih Gajahmada dengan Sunan Giri terkait Nusantara.
Yah, jika ikatan “Nusantara”-nya Mahapatih Gajahmada terjalin melalui kekuatan politik dan militer, maka “Nusantara”-nya Sunan Giri dibangun melalui hubungan pendidikan dan keagamaan, intelektual-religius, dengan para santrinya yang berasal dari berbagai pulau di wilayah Nusantara. Bahkan, juga dari mancanegara. Dan sejarah pun menunjukkan bahwa ikatan atau hubungan antar bangsa melalui pendidikan dan keagamaan, termasuk budaya, jauh lebih kuat pengaruhnya daripada melalui kekuasaan politik dan militer, sebagaimana yang ditunjukkan oleh proses “Indianisasi” di wilayah Nusantara pada abad-abad sebelumnya.
Kemudian untuk lebih menunjukkan eksistensinya, maka tercetuslah ide tentang pemerintahan kerajaan berdasarkan agama, seperti pemerintahan Wangsa Syailendra, Singosari, Majapahit, dan sebagainya. Bahkan juga pada proses Islamisasi Jawa, seperti yang dapat dilihat pada periode munculnya kesultanan Demak.
Hal inilah yang tampaknya menjadi titik pembeda antara bangsa Timur dan bangsa Barat ketika datang ke wilayah Nusantara. Ringkasnya, bangsa Timur lebih mendekat dan berorientasi pada locus kebudayaan. Sementara kedatangan bangsa Barat didukung oleh kekuatan militer, terutama untuk menjaga kelestarian monopoli perdagangan dan kolonialisasi. Mungkin karena ekspresi rasa superioritas, maka bangsa Barat lebih cenderung membuat jarak dengan masyarakat pribumi.
***
IB TERDIAM dalam pikirannya. Menatap laut yang terhampar di hadapannya itu. Sejenak berada di antara kapal-kapal yang berlabuh di sana, pikiran itu lantas melompat menembus udara. Ke sisi utara beranda masjid Sunan Giri. Ke tempat dia berdiri. Lantas bertanya-tanya sendiri, apa makna laut dalam kehidupan dan perjuangan Sunan Giri?!
Membaca kisah hidupnya, Ib tahu bahwa laut adalah kehidupannya. Dewi Sekardadu, ibunya, yang juga putri raja Blambangan, telah menitipkan dia kepada laut untuk mengasuhnya. Kemudian laut membawanya ke hadapan Nyai Ageng Pinanti, yang memberinya nama Joko Samudro. Laut juga yang mengantarkannya sowan kepada Syekh Maulana Ishak, ayahnya, yang tinggal di Pasai setelah diusir dari Blambangan. Yah, fitnah telah memisahkan keluarganya. Dan hanya laut yang menawarkan kerinduan di antara ketiganya.