9

Syauqi Sumbawi
Chapter #15

15

DALAM KONDISI normal, atau tidak dalam kondisi sakit, siapakah di antara kita yang pernah menginginkan untuk buang hajat?! Untuk tidak mengatakan mustahil, barangkali akan sulit sekali untuk menemukan siapa orangnya.

Umumnya, orang ingin menikmati makanan yang lezat. Bahkan mereka juga memikirkan menu enak apakah yang ingin dimakannya. Untuk sarapan pagi ini, makan siang ataupun makan malam nanti. Karena itu, sebagian di antara mereka mendirikan restoran, rumah makan, dan sebagainya. Di antaranya juga memilih profesi sebagai koki, baik melalui pendidikan sekolah kejuruan tata boga, jurusan pariwisata dan kuliner, maupun mengembangkan keahliannya secara otodidak, yang mana terus berusaha menciptakan berbagai macam menu yang menggoda, sekaligus membangkitkan selera makan. Maklum saja, banyak keuntungan yang bisa diperoleh dari bisnis itu.

Kemudian, tak jarang di antara mereka, bahkan rela menempuh jarak yang cukup jauh untuk memuaskan hasrat dan selera makannya. Bukan kelaparan, tetapi mereka ketagihan. Karena itu, tidak heran jika mereka pun berbicara tentang makanan kesukaan, restoran langganan, serta menjadikan kegiatan makan sebagai hobi dan kesukaannya. Si “pemburu makanan”, barangkali itulah julukan yang pas bagi golongan yang terakhir itu.

Tentunya, segala hal terkait makanan tersebut sangat kontras dengan apa yang terjadi setelah makan. Orang tidak pernah menginginkan ataupun memikirkan seperti apa dan sebagainya. Bagaimana akan memikirkannya?! Karena untuk buang hajat, manusia pun harus dipaksa. Toilet terdekat dan tidak antri, itulah satu-satunya keinginan yang tersisa.

***

 

BERJALAN ke masjid, Ib teringat perkataan Mbah Mad suatu kali.

“Salah satu tanda kecil keimanan seseorang, yaitu rasa syukur ketika buang hajat. Karena tak jarang di antara manusia yang menganggapnya sebagai penghambat aktivitas. Sesuatu yang mengganggu kesibukannya. Dan sebagainya.”

Yah, syukurlah. Bisa mencapai toilet tepat pada waktunya. Tidak antri. Dan bisa buang hajat dengan lancar. Kalau tidak, bisa repot urusannya, pikir Ib. Kemudian pergi ke tempat wudlu.

Di beranda masjid, tampak orang-orang tidur berkemul sarung. Maklumlah, udara malam cukup dingin. Apalagi di bagian luar masjid yang berdiri di puncak bukit. Ketika tiba di bagian dalamnya, Ib melihat beberapa orang tengah menjalankan shalat. Sebagian lagi membaca al-Qur’an, dan berdzikir dengan suara lirih, bersama malam yang telah jatuh dan terus menjauh dari puncaknya. Pukul satu lebih duapuluhtiga menit dan sekian detik, jarum jam lonceng menandai waktu.

Dekat dinding sebelah utara, Ib menjalankan shalat sunat. Dua rakaat. Menambah dua rakaat lagi. Ketika merubah duduknya dengan bersila, tiba-tiba terasa olehnya sebuah tepukan di pundaknya. Segera dia pun dia menoleh ke belakang. Seorang laki-laki yang telah dikenalnya, tersenyum menatapnya.

Di beranda masjid, keduanya lantas bercakap-cakap. Bertanya tentang kabar dan sebagainya. Dia adalah Lik Kusnan, yang mengingatkannya tentang istilah ‘sentilan Tuhan’ itu. Juga mengingatkannya pada perkataan penjaga masjid tentang seseorang yang ingin bertemu dengannya.

Apakah Lik Kusnan, yang dimaksud oleh penjaga itu?! pikir Ib.

Rupanya, orang yang dimaksud itu bukan Lik Kusnan. Bahkan, penjaga masjid itu sendiri yang menemaninya bertemu dengan Ib. Ketika melihatnya, Ib bergegas menjumpainya. Menyalaminya. Kemudian menyalami penjaga masjid itu.

“Bagaimana kabarmu, Ib?” tanya Mbah Mad.

Alhamdulillah. Baik, Kek.”

Mbah Mad tersenyum menatapnya.

“Karena sudah bertemu denganmu, maka sudah waktu-nya kakek pamit,” kata Mbah Mad. Kemudian berpamitan pula kepada penjaga masjid itu. Dari keakrabannya saat berbicara, Ib menduga bahwa Mbah Mad dan penjaga masjid itu adalah teman lama.

***

 

MENURUNI tangga sebelah barat, Ib melanjutkan percakapannya dengan Lik Kusnan. Sementara Mbah Mad dan penjaga masjid itu berjalan di depannya. Entah, apa yang dibicarakan dua laki-laki enampuluhan tahun itu.

 Dari Lik Kusnan, Ib tahu, ketika menemui Mbah Mad di rumahnya selepas Isya’ tadi, Mbah Mad mengatakan akan pergi menemui Ib. Karena itu, tanpa berpikir lama, Lik Kusnan memutuskan ikut dengannya. Sekitar jam sembilan malam mereka berangkat dengan mengendarai sepeda motor. Kira-kira satu jam kemudian, mereka pun sampai di makam Sunan Giri.

Keduanya langsung berziarah ke makam. Seperti biasanya membaca Yaasin dan tahlil. Kemudian Mbah Mad mengajak Lik Kusnan pergi menemui penjaga masjid itu di rumahnya, di kawasan perkampungan sebelah kiri tangga yang kini mereka turuni.

“Aku sempat melihatmu keluar dari tempat wudlu. Kemudian mengikutimu ke dalam masjid.”

Dalam diam, Ib bertanya-tanya sendiri. Jika memang demikian, kenapa aku tidak melihat Mbah Mad dan Lik Kusnan di makam. Atau di tempat yang lain, pikirnya. Yah, mungkin belum waktunya bertemu. Dan kalau saja tidak dipaksa untuk buang hajat, mungkin dia tidak akan bertemu dengan Lik Kusnan dan Mbah Mad di kawasan masjid itu.

“Hati-hati ya, Ib. Semoga perjalananmu lancar dan sukses,” kata Lik Kusnan ketika mendekati tempat parkir sepeda motor.

Lihat selengkapnya