PADA SUATU ketika sebelum membuka ceritanya di kelas, Pak Bakrun berkata, “Dalam kehidupan manusia, ada tempat yang paling indah untuk bertamasya. Apakah kalian tahu?”
Terpancing oleh pertanyaan itu, Ib dan teman sekelasnya pun terdiam. Mencari jawabannya. Kemudian mereka pun berceloteh mengungkapkan jawaban itu; gunung, laut dan pantai, taman kota, Jabal rahmah, Ka’bah, dan lain-lain. Bahkan diri sendiri.
Pak Bakrun tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Dia tidak menyalahkan jawaban mereka. Seperti biasa, dia tetap memberikan apresiasi, kendati tak ada satu pun yang pas dengan apa yang dimaksudkannya. Sebentar, dia pun mengungkapkan jawabannya.
Sidratu al-muntaha, demikian nama tempat itu. Dua kata yang tidak hanya membuka kesadaran lain yang besar, tetapi juga mengingatkan Ib tentang peristiwa Isra’ mi’raj Nabi Saw. Perjalanan yang dimulai dari masjid ke masjid, yang kemudian dilanjutkan melintasi langit kebesaran-Nya. Puncak perjalanan spiritual manusia, dimana tabir antara Tuhan dengan hamba-Nya terbuka.
Bukan hamba, tetapi Tuhan sendiri yang memperjalankan hamba-Nya. Tuhan pula yang membuka tabir-Nya dan memperlihatkan sebagian tanda kekuasaan-Nya. Dengan kehendak-Nya, hamba pun diberitahu tentang sebagian rahasia-Nya. Tentang masa lalu dan masa depan, surga dan neraka beserta penghuninya, bertemu dan berbicara dengan ruh para utusan-Nya, dan sebagainya. Kemudian, tidak ada yang lain setelah itu, kecuali mahabbah. Hidup adalah pengejawantahan cinta kepada-Nya.
Sebagaimana diketahui, sejarah menyebutkan bahwa sebelum peristiwa itu terjadi, Nabi Saw sedang mengalami hari-hari terburuk dalam hidupnya. Belum lepas tiga tahun pengasingan dan pemboikotan yang dilakukan oleh kalangan Quraisy Makkah kepada umat Islam dan keluarganya—Bani Hasyim—, Abu Thalib, pamannya, dan Khadijah, istrinya, meninggal dunia. Nabi Saw merasa sangat kehilangan, sekaligus mengantarkannya pada kesedihan yang sangat dalam.
Maklumlah, Abu Thalib bukan hanya paman yang mengasuhnya ketika kecil, tetapi juga pelindung sosial kehidupannya di Makkah. Dalam perlindungannya, tidak ada di antara pemuka kafir Quraisy yang berani berbuat jahat dan mengancam hidupnya. Sedangkan Khadijah, tidak hanya istri sekaligus ibu dari anak-anaknya, tetapi lebih merupakan sosok yang senantiasa mendukungnya serta mendamaikan hati dan membesarkan jiwanya, terutama dalam menghadapi berbagai masalah terkait perjuangan dakwah beliau sebagai utusan-Nya. Sederhananya, jika Abu Thalib adalah pelindung “aspek sosial”, maka Khadijah menjaga “aspek psikologis” Nabi Saw. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi.
Tidak cukup dengan wafatnya kedua tokoh di atas, Nabi Saw juga mendapat perlakukan buruk dari penduduk Thaif. Ketika berdakwah di sana, beliau disambut dengan lemparan batu. Mereka mengusirnya. Namun yang menyedihkan, bukan kalangan dewasa-tua yang melempari dan mengolok-oloknya dengan sebutan orang gila, melainkan kalangan anak-remaja-muda, yang lebih merupakan generasi yang berpotensi untuk perubahan besar dalam masyarakat. Tidak lain karena hasutan generasi tua yang menentang Nabi Saw.
Demikianlah, hari-hari buruk itu berlalu. Kemudian, setelah diperjalankan oleh Tuhannya, yakni isra’ mi’raj, hari-hari berikutnya tampak begitu indah. Menjadi lebih indah dengan mahabbah. Cinta kepada-Nya. Bahkan saking indahnya, Nabi Saw., pun mengungkapkan perjalanan spiritual itu kepada penduduk Makkah, baik muslim maupun kafir. Yah, percaya atau tidak, inilah ujian keimanan.
Sebagaimana peristiwa yang bersifat spiritual, isra’ mi’raj Nabi Saw hanya bisa didekati dengan spiritualitas. Hal inilah yang kemudian ditunjukkan oleh Abu Bakar, sahabatnya, ketika ditanya tentang peristiwa itu.
“Jika Muhammad yang mengatakannya, maka itu adalah benar,” jawab Abu Bakar.
Tanpa keraguan sedikitpun. Bukan pula percaya buta. Akan tetapi keimanan yang haqqul yaqin. Karena dia pernah mengalami peristiwa spiritual lain yang berhubungan dengan Nabi Saw. Pengalaman yang menjadikannya tidak pernah meragukan keberadaan beliau sebagai utusan-Nya.
Tidak hanya kepada penduduk Makkah, peristiwa isra’ mi’raj juga disampaikan kepada seluruh umat manusia. Al-Qur’an mengabadikan peristiwa itu dalam surat al-Isra ayat satu. Dan setiap tahun, umat Islam tak pernah lupa untuk memperingatinya.
***
TANGGAL 27 Rajab selalu berwarna merah pada kalender masehi yang digunakan di negara ini. Hari libur, yang tidak lain adalah hari yang membuka pintu bagi aktivitas lain selain rutinitas keseharian. Berlibur atau pergi berwisata. Barangkali, inilah pilihan yang ingin dilakukan oleh umum-nya manusia. Sebagaimana juga keinginan dua anak kecil perempuan yang duduk di bagian tengah mobil itu.
“Nanti kita ke WBL dan Mazola[1] ‘kan, Ayah?” kata anak perempuan berusia duabelas tahunan itu.
“Iya. Kalau ayah sudah janji, pasti akan ditepati,” kata ibunya.
“Asyik,.. asyik,.. kita ke WBL. Kita ke Mazola…” sambung anak kecil enam tahunan, adiknya, berulang-ulang.
“Iya sayang. Tapi, kita berziarah dulu ke makam Sunan Drajat,” kata ayahnya melihat ke cermin kaca yang tergantung di depannya. Kemudian beralih pada jalanan di depannya.