Menehono teken marang wong kang wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyub marang wong kang kudanan
DEMIKIAN pesan itu tertulis. Ib memahami, bahwa pesan itu memiliki jangkauan makna yang luas, sekaligus menjadi tanda atas perjuangan dakwah Sunan Drajat yang menitikberatkan pada kepedulian sosial yang tinggi, di samping kesalehan individual.
Pertama, menehono teken marang wong wuto, tidak berhenti pada makna agar kita mau memberi tongkat kepada orang yang buta. Lebih dari itu, yaitu memberi bimbingan pengetahuan atau ilmu kepada orang bodoh atau orang yang belum mengerti, agar mereka tidak tersesat dalam hidupnya. Terutama dari hakikat dan tujuan hidupnya yang azali.
Berikutnya, menehono mangan marang wong kan luwe, bermakna lebih dari sekedar memberi makan kepada orang yang kelaparan, tetapi mengarah pada upaya untuk mensejahterakan rakyat miskin. Yah, bukankah rakyat miskin adalah golongan yang kerap merasakan lapar?! Dan bukankah mereka yang menempati golongan terbawah, sekaligus mayoritas dalam piramida penduduk dan masyarakat?! Tentu saja, bukan golongan atas yang minoritas. Terlebih orang-orang yang menempati posisi sebagai pemimpin rakyat dan wakil rakyat, yang acapkali melupakan keberadaan dan nasib mereka yang kelaparan itu. Padahal semasa kampanye, mereka kerap mengatasnamakan rakyat miskin dan berjanji untuk mensejahterakannya.
Kemudian, menehono busono marang wong kang mudo, bukan hanya menunjuk pada makna pesan memberi pakaian kepada orang yang telanjang, melainkan secara luas adalah mengajarkan akhlak yang mulia kepada orang yang belum memilikinya. Bukankah banyak juga di antara anggota masyarakat yang banyak memiliki koleksi pakaian, tetapi memilih tidak berpakaian atau berpakaian minim?! Yah, pakaian terindah bagi manusia adalah akhlak yang mulia. Karena itulah, salah satu tujuan diutusnya Nabi Saw adalah menyempurnakan akhlak mulia.
Lalu, menehono ngiyub marang wong kang kudanan, yang tidak cukup dimaknai untuk memberi tempat berteduh kepada orang yang kehujanan, tetapi lebih menunjuk pada pemberian perlindungan baik jasmani, rohani, maupun psikologis kepada orang-orang yang menderita. Hal ini penting, mengingat dalam kehidupannya, manusia tidak bisa dilepaskan dari berbagai cobaan hidup, baik yang berupa bencana alam, kesewenang-wenangan, maupun berbagai permasalahan hidup yang membuatnya menderita. Karena itu, perlindungan, pertolongan, dan pemberian motivasi, sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kehidupannya.
Yah, memang tampak sederhana. Akan tetapi, Ib tahu bahwa pesan itu menjangkau seluruh aspek kemanusiaan pada diri manusia, baik bersifat religius-filosofis, material-ekonomis, moral-spiritual, maupun sosio-psikologis. Dari semuanya, pesan itu mengarahkan agar setiap manusia memiliki kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi serta menjaga fitrah kemanusiaan, baik diri sendiri maupun orang lain.
***
BEGITULAH, pemikiran Ib terkait empat baris pesan Sunan Drajat ketika duduk di beranda selatan mushala panggung, tak jauh di sebelah timur makamnya. Beberapa menit yang lalu, dia baru saja selesai shalat dhuhur bersama tiga orang lainnya. Mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dari perkampungan, sehingga hanya para peziarah saja yang memfungsikannya sebagai tempat shalat. Apalagi di seberang jalan beraspal selatan sana, banyak berdiri toilet-toilet umum berbayar, yang dilengkapi tempat wudlu dan mushala.
Barangkali, banyak rombongan peziarah yang men-jama’ dan men-qashar shalat dan memilih untuk menjalankannya di tempat lain yang lebih luas. Karena itu, wajar jika hanya sedikit para peziarah yang berjamaah di mushala panggung itu. Bahkan, bisa jadi mereka bukan peziarah, tetapi para pedagang dari lapak-lapak yang berjajar di kanan-kiri jalan keluar lokasi makam itu.
Perlahan Ib menggeser tubuhnya bersandar ke dinding mushala. Kemudian mengarahkan matanya pada jalan masuk menuju makam Sunan Drajat. Di sanalah, Ib melihat pesan itu tertulis pada papan yang tergantung di blandar atapnya. Dan sekitar tiga jam yang lalu di bawah papan itu, dia berpisah dengan keluarga Om Dani.
“Oke, Ib. Kita berpisah di sini. Selain tidak ingin mengganggu, kami juga akan langsung melanjutkan perjalanan setelah berziarah nanti,” kata Om Dani seraya menyentuh pundaknya.
“BaikIah, Om. Sebelum pamit, saya mohon maaf dan juga sangat berterimakasih kepada Om Dani dan Tante Dian atas segalanya,” kata Ib tersenyum. Lalu mengarahkan matanya kepada dua perempuan kecil yang kini telah memakai kerudung, sebagaimana ibunya. “Juga kepada Della, Rosi.”
“Sama-sama. Bahkan sebaliknya, Ib. Terimakasih juga, telah mengantar kami ke sini,” kata Om Dani. “Iya ‘kan, Ma?!”
Tante Dian tersenyum menganggukkan kepalanya.