9

Syauqi Sumbawi
Chapter #18

18

DALAM KEHIDUPAN manusia, apakah yang menggerakkan seseorang untuk terus bertahan dan berjuang mewujudkan segala sesuatu yang diharapkannya?! Sesuatu yang menyimpan, sekaligus mengarahkannya pada kebaikan hidup?! Dari kesemuanya, jawaban yang paling mendekati adalah cinta.

Yah, makhluk cinta, barangkali itulah salah satu kesadaran manusia mengenai dirinya berkaitan dengan cinta. Dalam arti, manusia selalu terlibat dalam permasalahan cinta; mencintai maupun dicintai. Demikian pula, manusia mengisi hidupnya dengan berbicara tentang cinta, mengung-kapkan cinta, memahami cinta, dan sebagainya. Bahkan, cinta juga turut mempengaruhi perilaku konkrit manusia dalam berbagai dimensinya. Tentunya, hal tersebut bukan sebuah kejanggalan, melainkan potensi dasar manusia—fitrah—, yang harus dikembangkan hingga mencapai level ideal.

Secara teologis, cinta merupakan anugerah Tuhan. Hanya Dia-lah yang Maha Cinta, Pemilik Cinta, dan cinta-Nya tidak pernah berhenti tercurah kepada makhluk-makhluk-Nya, terutama manusia. Cinta Tuhan kepada manusia, dapat dipahami dari keberadaan manusia—meliputi posisi dan perannya—di muka bumi yang istimewa daripada makhluk-makhluk lain. Dengan berbagai potensi (fitrah), baik fisik maupun spiritual yang sempurna, manusia ditahbiskan sebagai khalifah fi al-ardl Tuhan di muka bumi. Manusia diberi kemampuan untuk mengelola bumi dan segala sumber daya demi keperluan hidupnya di dunia. Kemudian dengan segenap potensi yang ada pada diri manusia itu, Tuhan tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya.

Hanya satu sebab yang menjadikan perbedaan di antara semua manusia di hadapan Tuhan, yaitu terkait dengan usaha manusia dalam menjaga cinta Tuhan di atas. Dalam arti lain, ketakwaan manusia kepada Tuhan itulah yang menjadi penyebab perbedaan derajat manusia di sisi Tuhan. Pada level ini, ketakwaan tidak dapat dipisahkan dari cinta. Bahkan cinta merupakan dasar bagi ketakwaan manusia kepada Tuhan, yang termanifestasikan dalam penunaian perintah dan menjauhi larangan-Nya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa cinta kepada Tuhan merupakan hal esensial dan menjadi dasar bagi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya di dunia. Hanya dengan dasar tersebut, seluruh aktivitas manusia dapat dikatakan bernilai ibadah.

Lebih jauh, cinta kepada Tuhan dapat menjadi kekuatan dan energi dalam diri manusia yang mendorong dan mengarahkan manusia dalam kehidupannya secara positif, menundukkan semua bentuk cinta yang lain, serta menjadikan manusia dapat mencintai dirinya, sesamanya, dan seluruh makhluk-Nya. Hal ini disebabkan, seluruh wujud yang ada di sekitar manusia tersebut, tidak lain adalah manifestasi dari Tuhan yang membangkitkan kerinduan spiritual kepada-Nya.

***

 

“BAIKLAH, Mbak akan mengantarmu ke Makam Sunan Drajat,” kata Mbak Dilah. Kemudian menatap perubahan di raut wajah adik perempuannya itu yang sumringah. “Tapi, ada syaratnya?”

“Syarat?!” Mila bertanya-tanya. “Apa, Mbak?”

“Kau harus jujur.”

“Memang itu yang seharusnya dilakukan.”

Mbak Dilah tersenyum. Dalam hati, dia memang menyukai sifat adiknya yang satu ini. Milla selalu berusaha jujur atas segala sesuatu. Karena itulah, segala perbuatannya yang dianggap salah, selalu bisa dimaafkan oleh kedua orangtuanya. Apalagi Mila adalah anak bungsu, yang secara tidak langsung kerap dimanjakan oleh keluarganya.

“Baiklah.” Mbak Dilah berpikir sejenak. Kemudian menggodanya. “Kau ingin berziarah, berwisata, atau bertemu pacarmu?!”

Milla terdiam. “Berziarah, ya. Berwisata, boleh juga. Bertemu pacar,… memang boleh berpacaran?!”

“Untuk anak kesayangan Abah dan Umi, semua pasti boleh. Tapi, yang baik dan bernilai positif.”

“Kalau, Mbak?!” kata Mila antusias.

“Menikah dulu. Baru pacaran,” Mbak Dilah tertawa kecil.

Sebentar Mbak Dilah teringat laki-laki yang kini menjadi suaminya itu. Dulu, jauh sebelum dijodohkan dan menikah dengannya, dia pernah mengharapkan laki-laki itu.

“Ib sekarang ada di makam Sunan Drajat kan, Mila?!” kata Mas Hasan, suami Mbak Dilah, keluar dari kamar. Dia tampak sudah rapi untuk pergi.

“O, rupanya Ib. Pacarmu…” sahut Mbak Dilah.

“Mas Hasan tahu dari siapa?!” katanya setelah mengetahui pintu rahasianya terbuka.

“Bukan siapa-siapa. Kau sendiri yang mengungkapkannya,” kata kakak iparnya tersenyum, duduk di kursi ruang tamu. “Bukankah tadi kau pergi ke rumah Mbah Mad?!”

Mila hanya diam. Tanda mengiyakan.

“Tadi, aku melihatmu di sana. Lalu, kau datang ke sini. Mengajak kami pergi ke makam Sunan Drajat. Kalau bukan karena ingin bertemu dengan Ib, apa hanya sebuah kebetulan saja?!”

“Bahkan lebih dari itu, Mas. Karena cinta…,” sambung Mbah Dilah kemudian menggoda Mila hingga pipinya bersemu merah.

Ah, Mbak ini…”

“Sudah,.. sekarang, kau pulang dulu. Minta izin Abah dan Umi. Mumpung Rudin masih shalat Dluha. Segera setelah itu,.. kami akan menyusul. Dan kita berangkat bersama,” kata Mas Hasan.

“Ya. Hari ini, kami memang berencana ziarah ke makam Sunan Drajat. Tapi sebelumnya, kita akan pergi ke pantai Delegan dulu. Kami sudah menjanjikan hal itu kepada Rudin, jika khatam mengaji al-Qur’an. Dan kemarin, dia telah khataman yang pertama,” Mbah Dilah meneruskan. “Tidak apa-apa kan, Mila?!”

Lihat selengkapnya