9

Syauqi Sumbawi
Chapter #19

19

KESETIAAN, barangkali istilah yang tepat untuk menyebut bahwa hal baik yang pernah diharapkan dan diyakini, tetap menjadi kesadaran pada diri seseorang. Dari keberadaannya, hanya cinta yang melahirkan dan merawatnya. Sementara waktu yang terus mencatatkan hari dan tanggal menumbuhkan cinta itu menjadi cinta yang berkesadaran. Cinta yang berpusat pada Dzat yang Maha Cinta.

***

 

MATAHARI beranjak di pagi itu. Udara tenang dan terasa segar di badan. Berbanding terbalik dengan kondisi semalam yang meriah, lokasi sekitar makam Sunan Drajat tampak sepi. Begitu pula ruas jalan kawasan pusat oleh-oleh yang dilalui Ib itu. Bagian depan lapak-lapak dagangan banyak yang tertutup oleh terpal. Hanya satu-dua lapak saja yang buka, bersama penjaganya yang duduk dengan mata masih mengantuk sisa keramaian semalam.

Dari salah satu lapak yang buka pagi itu, musik dangdut koplo menebar ke udara. Terdengar seperti uar-uar yang memberi semangat.

Yah, semangat. Itulah yang dirasakan Ib bersama langkah kakinya yang mantap. Empatpuluh kali membaca surat Yaasin telah diselesaikannya beberapa waktu yang lalu sebelum mandi. Kini, bersama kesegaran air sumur yang berasal dari peninggalan Sunan Drajat, dia pun melanjutkan perjalanan berikutnya.

Keluar dari gerbang kawasan parkir makam Sunan Drajat, Ib melangkah ke utara. Lalu-lalang kendaraan cukup lengang di jalan beraspal itu. Maklumlah, tak jauh di sebelah selatan adalah wilayah hutan dan perbukitan yang cukup sepi. Tak banyak rumah penduduk berdiri di sana. Dan tentu saja hal itu berbeda dengan apa yang tampak di sebelah utara.

Menuruni jalanan yang menanjak, Ib melihat orang-orang telah mengawali aktivitas pagi di depan rumah-rumah yang berjajar di kanan-kiri jalan. Begitu juga toko-toko yang memperlihatkan barang dagangannya. Pada pertigaan jalan, berbagai kendaraan bertemu. Sebagian besarnya melintas ke timur dan ke barat.

Ib tahu, di balik rumah yang berpintu tepat menghadap ke arahnya di ujung pertigaan jalan itu terbentang lautan yang dikenal dengan sebutan Laut Jawa. Karena terletak di tengah, lautan itu pun menghubungkan pulau-pulau besar di Indonesia. Konon, di pesisir pantai itulah Sunan Drajat pertama kali muncul di daerah ini.

***

DI BERANDA mushala dekat pantai, Ib menatap ke tengah lautan. Ombak tak terlalu besar, dan menjadi riak kecil setiba di batu karang yang membatasinya. Beberapa perahu nelayan terlihat melaut di kejauhan. Dalam diam, Ib seperti diajak menyusuri waktu oleh cerita rakyat yang pernah dibacanya. Yah, ‘Lelaki yang datang dari laut’, demikian kesimpulan Ib mengenai kehadiran Sunan Drajat di daerah ini, sebagaimana yang tergambar dari cerita rakyat itu.

Diceritakan, suatu hari Raden Qasim diperintahkan oleh Sunan Ampel, ayahnya, untuk pergi sekaligus mencari tempat tinggal di daerah antara Gresik dan Tuban. Dari pelabuhan Gresik, beliau memulai perjalanannya dengan menumpang perahu yang bertolak ke barat. Dalam perjalan-an, tiba-tiba ombak besar menghantam dan menggiring perahu itu hingga terhempas menabrak bongkahan karang. Perahu itu menjadi kepingan-kepingan pecah. Cerita rakyat menyebutkan bahwa seekor ikan talang yang cukup besar kemudian menghampirinya. Dengan menaikkan di atas punggungnya, ikan itu mengantar Raden Qasim tiba di pantai dengan selamat.

Jelak, demikian nama kampung itu. Sejak kedatangan Raden Qasim, kampung nelayan itu semakin ramai. Dari seberang hutan di perbatasan selatan, begitu juga dari arah timur dan barat pesisir pantai, orang-orang berduyun-duyun datang. Bukan untuk membuktikan kisah ajaib terkait dirinya yang selamat ketika perahu yang ditumpanginya pecah dihantam ombak, melainkan untuk belajar tentang agama Islam.

Melihat kondisi langgar yang sudah tidak mencukupi sebagai tempat beribadah dan belajar, serta lokasinya berada dekat pantai yang tidak memungkinkan untuk diperluas lagi, maka Raden Qosim pun berencana untuk pindah ke selatan. Dia pun membuka daerah baru di kawasan hutan di ujung perbukitan dibantu penduduk dan para santri. Di daerah yang diberi nama Drajat itu, Raden Qosim membangun masjid dan pesantren. Kemudian ditahbiskan pula dirinya oleh Sunan Giri dengan nama Sunan Drajat.

***

 

MERENUNGKAN kisah itu, Ib memahami bahwa perjuangan dakwah Sunan Drajat berbeda dengan ayahnya, Sunan Ampel. Jika perjuangan Sunan Ampel diawali dengan membuka daerah kosong di Ampeldenta, mendirikan masjid dan pesantren serta penekanan tentang pentingnya peran agama dalam pendidikan karakter, maka Sunan Drajat menggambarkan kehadiran seorang muslim di tengah masyarakat. Kemudian, jika ajaran Sunan Ampel digambar-kan dalam ajaran ‘moh limo’ yang lebih diarahkan pada lahirnya individu-individu yang berakhlakul karimah, maka peninggalan ajaran Sunan Drajat tergambar pada ajaran catur piwulang, yang lebih bersifat sosial. Lebih jauh, jika hasil dari perjuangan Sunan Ampel ditunjukkan oleh lahir-nya generasi-generasi muslim yang ideal, maka hasil dari perjuangan Sunan Drajat dapat diwakili oleh peninggalan budaya, seperti kupatan, yang sarat dengan nilai-nilai Islam dan sosial.

Ib mengangguk-anggukkan kepalanya sejenak. Dia tahu, saat ini dirinya belum berada pada episode Sunan Drajat maupun Sunan Ampel. Belum waktunya bagi dia berperan dalam kehidupan masyarakat secara luas. Akan tetapi masih dalam episode mencari ilmu. Belajar, terutama dari hidup dan kehidupan itu sendiri. Yah, dia harus melanjutkan perja-lanannya. Pengembaraannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kisah Sunan Bonang, yakni perjalanan kesejatian.

Lihat selengkapnya