APA PENTINGNYA batik sehingga keberadaannya dinilai sebagai warisan budaya?! Kalau hanya sebagai pakaian, apa bedanya batik dengan jenis pakaian yang lain?! Tentunya, keberadaan batik tidak sesederhana itu. Di balik keberadaannya yang kasat mata, tersimpan nilai-nilai luhur yang diarah-kan sebagai pesan dan pelajaran bagi masyarakat, dari generasi ke generasi.
Hal inilah yang menjadi ciri dari kebudayaan masyarakat yang masih lestari hingga kini. Bahwa semua hal tersebut bukan hanya berwujud produk dan perilaku, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual. Bahkan secara umum, budaya masyarakat sebagaimana dalam batik, sedekah bumi, sedekah laut, ruwatan, tingkeban, dan sebagainya, lebih menunjuk pada keberadaannya sebagai budaya spiritual.
***
DI LOKASI parkir timur masjid agung Tuban, mobil itu berhenti. Suasana cukup sepi di sekitar. Tak banyak kendaraan rombongan peziarah yang parkir di sana. Mungkin karena hari jum’at yang dianggap sebagai “hari pendek” untuk be-pergian, sehingga mereka tidak memulai perjalanan ziarah di pagi harinya. Barangkali juga hari yang masih siang, yang menjadikan orang-orang memilih untuk menepi dari sengatan matahari yang nyalang.
Keduanya pun keluar dari mobil.
“Sebentar, Ib,” kata Pak Rodli. Kemudian membuka pintu belakang mobil.
Sejenak memperhatikan bangunan masjid dengan arsitektur yang cukup indah di depannya, Ib mengawasi keadaan sekitar. Jalanan lengang dari lalu-lalang. Beberapa becak berbaris dalam antrian di bawah rimbunan daun di sebelah selatan. Tampak dua orang tukang becak terlelap di atas becaknya sembari menunggu penumpang.
Tak lama, Pak Rodli menghampirnya.
“Ini untukmu,” katanya memberikan bungkusan baju batik.
Melihat Ib seperti sungkan untuk menerima bungkusan itu, dia pun berusaha menyakinkannya.
“Tolong diterima, Ib. Anggap saja sebagai kenang-kenangan bahwa kita pernah berjumpa.”
“Baiklah, Pak. Terimakasih.”
Ib menerima bungkusan itu.
“Sekarang, pergilah. Aku tidak ingin menghambat perjalanan ziarahmu. Semoga lancar dan suksesssss…” kata Pak Rodli tertawa sembari menjabat tangan Ib.
“Begitu juga dengan Pak Rodli. Dan terimakasih atas semuanya.”
***
JALAN MENUJU makam Sunan Bonang cukup lengang. Di kanan-kirinya, beberapa kios pakaian dan jajanan masih tutup. Sementara kios yang buka, tampak sepi dari transaksi jual-beli. Di antaranya bahkan dibiarkan tanpa penjaga.
Ib bergegas dalam langkahnya ke barat. Tak hendak berlama-lama di bawah cuaca yang panas. Terik matahari seperti menguras air dari tubuhnya. Sesampainya di pertigaan, dia belok ke kanan. Sebentar dia pun melewati gapura masuk lokasi makam Sunan Bonang.
Seperti di luar, halaman makam itu cukup sepi dari lalu-lalang. Tampak dua orang laki-laki duduk berteduh di beranda mushalla. Sementara yang lainnya tiduran di sana. Entah, para peziarah atau warga sekitar.
Karena tidak mendapati siapapun di ruang penjaga makam, Ib pun memutuskan untuk langsung berziarah. Setelah melepas sandal dan mengucapkan salam kepada ahli kubur di depan gapura makam, dia melangkah kaki menyusuri jalan yang membelah area pemakaman.
Tak banyak peziarah yang berdoa di makam siang itu. Karenanya, dia pun berusaha mencari tempat lebih dekat dengan makam. Yakni memasuki bagian dalam bangunan makam. Setelah mendapatkan tempat di sebelah barat, Ib terdiam sejenak. Seperti biasa, mengucapkan salam seraya berterimakasih kepada Sunan Bonang yang telah berjasa besar dalam penyebaran Islam di negeri ini.
Sebentar, Ib pun duduk bersila. Kemudian terdengar lirih surat al-Fatihah dari bibirnya.
***
SHALAT ISYA’ berjamaah telah usai beberapa waktu yang lalu. Para jama’ah berangur meninggalkan masjid agung kota Tuban. Di beranda, Ib menatap malam di arah timur. Cahaya dari tiang-tiang lampu memperlihatkan wajah alun-alun kota Tuban yang temaram dengan lalu-lalang orang-orang dan kendaraan di sekelilingnya. Begitu juga warung kaki lima yang menjual beragam menu makanan, berjajar memenuhi trotoar.
Menyadari duduknya berada di tengah-tengah beranda bagian depan masjid, sekilas tergambar dalam pikirannya, Sunan Bonang sedang memainkan seperangkat alat musik gamelan ciptaannya, yaitu bonang, yang kemudian dijadikan sebagai nama julukannya. Sementara di depannya, orang-orang menyimak dengan penuh perhatian. Tak ingin berpindah kepada yang lainnya.
Sejenak terdengar Sunan Bonang melantunkan sebuah tembang, yang segera diikuti oleh semua yang hadir.