9

Syauqi Sumbawi
Chapter #21

21

ISI DAN KULIT merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya penting. Sebagaimana manusia yang terdiri atas ruh dan jasad. Memang, isi atau hakikat segala suatu itu penting. Namun, tanpa keberadaan kulit atau sesuatu yang membungkusnya, maka pesan dari hakikat tersebut tidak akan sampai kepada manusia. Tanpa keberadaan dunia dan seluruh ciptaan-Nya, manusia tidak akan bisa memahami keberadaan Tuhan dengan penuh kesadaran.

Ibarat sebuah buah, kulit berfungsi membungkus daging buah tersebut agar bisa dinikmati oleh manusia. Di sini, manusia akan mengupasnya, sebelum menikmati rasa. Manusia mengupasnya untuk mendapatkan inti hakikatnya. Kulit—dan bentuk—juga merupakan identitas yang spesifik dari keberadaan sesuatu, yang berbeda dengan keberadaan yang lain.

Dalam pemahamannya, Ib menduga bahwa hal inilah yang tampaknya melatarbelakangi dakwah Sunan Bonang, para Walisongo, dan para penyebar agama Islam lainnya di wilayah Nusantara, yang dilakukan melalui pendekatan budaya. Keberadaan karya-karya seperti tembang, suluk, lakon wayang, dan sebagainya adalah sarana untuk mengantarkan pesan Islam kepada masyarakat. Sarana yang memang akrab dan telah menjadi bagian dari identitas sosialnya.

***

 

DUA ORANG laki-laki itu baru saja pergi meninggalkan warung kaki lima. Hanya Ib dan si penjual yang tinggal di sana. Tanpa percakapan. Barangkali terdiam oleh pikirannya masing-masing. Merasa telah cukup di sana, Ib pun segera menyudahi makan malam itu. Dia ingin melanjutkan bacaan surat Yaasin-nya.

Sepanjang perjalanan ke makam Sunan Bonang, Ib teringat oleh percakapan kedua laki-laki itu.

 “Segala sesuatu tidak cukup hanya dilihat atau diketahui saja. Tapi, harus ditelusuri agar kita bisa mendapatkan pesannya. Maknanya.”

“Iya, benar, Kang. Karena itu, perintah pertama adalah Iqra’. Bacalah!” kata laki-laki berpeci. “Sekarang, misalnya… biar tambah paham.”

“Misalnya, ya… seperti neng-nong-neng-gung itu. Kita tahu ungkapan itu berkaitan dengan gamelan. Tapi, barang-kali kita belum sampai pada makna yang menjadi pesannya, yaitu neng kene, nong kono, neng endi-endi wae, gusti Allah kang moho agung.

“Jelas ilmu otak-atik ini…” komentar laki-laki berpeci seraya tertawa.

“Lha, bagaimana, toh… ya, memang ini maknanya. Pelajaran dari Mbah Bonang seperti itu,” kata si gondrong. “Makanya, kewajiban menuntut ilmu itu sampai ke liang lahat.”

“Ya, sudah. Waktunya mengaji ke sana sekarang.”

Ib suka dengan percakapan di warung itu. Seandainya dua orang laki-laki itu belum pergi, barangkali dia akan bertahan lebih lama di sana. Menyerap ilmu dengan cara mendengarkan. Yah, dengan mendengar secara seksama, seseorang akan lebih banyak menyerap informasi daripada ketika berbicara. Karena dengan mendengar, sebenarnya manusia telah siap menerima segala sesuatu dengan pikiran yang terbuka.

***

 

TIDAK SEPERTI siang tadi, komplek makam Sunan Bonang cukup ramai oleh peziarah. Ib melanjutkan langkah setelah mengambil wudlu. Semakin mendekat, bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir, dan tahlil semakin jelas terdengar. Bergumul di udara.

Seperti biasa, Ib mencari sisi sebelah barat makam. Melangkah perlahan di sekitar rombongan para peziarah yang duduk melantunkan bacaan tahlil secara berjamaah. Setelah mendapat tempat yang pas, dia berdiri sejenak ke arah makam. Pada saat itulah, dilihatnya dua orang laki-laki yang ditemuinya di warung nasi goreng itu sedang duduk bersila tak jauh di depannya. Diam dengan kepala menunduk. Tak seperti rombongan peziarah lainnya yang mengalir dalam gerak dan suara.

Ib duduk setelah mengucapkan salam kepada ahli kubur. Kemudian mulai membaca surat Yaasin dalam rangkaian seperti biasa.

Lihat selengkapnya