MANUSIA diciptakan berjenis laki-laki dan perempuan. Hidup berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Untuk saling mengenal. Bukan hanya mengenal orang lain, suku lain, bangsa lain, maupun makhluk lain, namun yang terpenting adalah mengenal diri sendiri. Karena itu, yang paling mulia dalam pandangan Tuhan adalah yang paling bertakwa. Mereka yang terus mengarah pada kesempurnaan—insan kamil—. Maka, hidup tidak lain adalah proses menjadi manusia. Kehidupan dunia yang penuh perbedaan, tidak lain merupakan ruang bersama untuk proses tersebut.
Terkait hal di atas, dapat dipahami bahwa perbedaan di antara sesama adalah rahmat. Bukan laknat. Keberagaman dalam dunia adalah ruang untuk saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling bekerjasama (ta’awun), dan akhirnya menjadi kesatuan (takaful) yang harmonis dan penuh kasih sayang. Bukankah manusia adalah sama. Diciptakan oleh Dzat yang sama.
Memanusiakan manusia, itulah arah proses kesempurnaan. Hal yang sama menjadi peran yang diemban agama dalam kehidupan umatnya. Memanusiakan manusia, bisa juga diartikan menanggalkan segala entitas yang menjadi pembeda, bersama kesadaran atas keberadaannya di hadapan Tuhan.
Pluralitas dan transendensi, demikian kira-kira pertautan tentang persoalan—di atas— yang pernah diungkapkan oleh Kang Badri kepadanya pada suatu percakapan. Ib bisa memahami, bahwa perbedaan di antara manusia, baik ras, suku, agama maupun yang lainnya, hanya tampilan dari sudut pandang lahiriyah. Sementara dari sudut pandang batiniyah, manusia adalah sama. Bahkan, antara manusia dengan hewan dan tumbuhan pun tidak berbeda. Yakni, sama-sama makhluk ciptaan-Nya.
***
PERCAKAPAN itulah yang muncul di pikirannya ketika berada di angkutan kota menuju lokasi makam Sunan Kudus. Sementara waktu terus mengantarkan perjalanan. Matahari masih cukup panas. Adzan ashar yang berkumandang dari beberapa pengeras suara masjid dan mushalla perlahan mulai tak terdengar lagi di udara.
Hanya tiga penumpang lain bersamanya dalam angkutan kota itu. Selebihnya, telah naik dan turun menyertai jauh-dekat perjalanan. Duduk di belakang sebelah kiri angkutan kota, di sekitar lalu-lalang kendaraan dan keseharian manusia, Ib kembali dibawa masuk ke dalam pikirannya. Menaut-nautkan segalanya.
Yah, transendensi, pikirnya. Barangkali menjadi satu kata yang mewakili keberadaan kota Kudus. Ib pernah membaca. Konon, kota ini dulunya bernama Tajug. Disebut demikian karena banyak berdiri tajug, yaitu atap tradisional yang sangat kuno berbentuk piramidal beralas segi empat dan satu puncak. Biasanya dipakai untuk tujuan keramat atau tempat persembahyangan masyarakat pra-Islam di daerah tersebut.
Setelah kehadiran Ja’far Shadiq, kota ini kemudian dikenal dengan nama Kudus yang berarti suci. Sebuah nama baru yang memperlihatkan proses dakwah kultural dan rekonstruksi budaya yang berjalan tanpa menghilangkan makna kekeramatan dan kesucian kota Tajug. Nama yang juga merepresentasikan hubungannya dengan kota al-Quds di Palestina, yang merupakan kota kelahiran dan asalnya.
Berbeda dengan kisah para walisongo sebelumnya, wila-yah dakwah Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus adalah sebuah kota, dimana aktivitas perdagangan, kesibukan hidup, heterogenitas dalam masyarakat, menjadi gambaran khas. Hal inilah yang tampaknya mendasari filosofi hidup yang dikembangkan di masyarakat, yaitu gusjigang, singkatan dari bagus, ngaji, dan dagang.
Melalui filosofi di atas, Sunan Kudus berusaha mendidik individu masyarakat agar terus berproses menjadi manusia dan memanusiakan manusia. Kata bagus, mengarah pada keberadaan akhlak mulia yang didasari oleh iman, sebagaimana pula tujuan diutusnya rasul, yaitu menyempurnakan akhlak mulia. Kemudian ngaji atau mencari ilmu, terutama mengenai ilmu tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Juga membuahkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengarah pada keshalihan, baik ritual maupun sosial. Selanjutnya, dagang yang merupakan pesan agar terus berusaha mencari nafkah serta membaca peluang usaha untuk tujuan kemakmuran bersama.
Dalam diam, Ib berpikir bahwa filosofi gusjigang merupakan pembacaan Sunan Kudus terhadap kehidupan masyarakat yang dihadapinya. Sebuah panduan hidup yang tidak bisa dilepaskan dari transendensi, sebagaimana bentuk tajug di puncak menara.
“Masjid menara…, masjid menara…. Turun sini!” kata sopir menghentikan laju angkutan kota.
Di trotoar Ib berdiri menyaksikan keadaan sekitar. Di bawah matahari sore, lalu-lalang kendaraan memperlihatkan kesibukan sebuah kota. Begitu juga yang terjadi di depan bangunan toko yang berderet memenuhi pinggiran jalan di hadapannya. Yah, bukankah berdagang, bekerja, adalah ibadah, pikirnya.
Sebentar dia melangkahkan kakinya. Mengikuti petunjuk arah yang diberikan oleh sopir angkutan kota. Tak lama, dia pun telah sampai di sekitar lokasi makam Sunan Kudus yang keberadaannya satu kompleks dengan masjid menara. Tampak olehnya, lapak-lapak berdiri di kanan-kiri jalan memperlihatkan barang dagangan. Para pedagang tak lupa menyambut kehadirannya dengan ramah.
“Oleh-olehnya, Mas.”
“Tasbih, baju, kopyahnya, Mas.”