9

Syauqi Sumbawi
Chapter #25

25

ISLAM adalah agama kemanusiaan, Islam merawat harmoni keragaman dalam masyarakat, demikian pikiran Ib terkait proses dakwah Sunan Kudus. Dia pernah membaca, bahwa Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq Amzatkhan bukanlah rakyat pribumi kota Tajug di pulau Jawa, melainkan berasal dari Timur Tengah. Ketika tiba di wilayah ini untuk menyebarkan Islam, Ib tahu bahwa ada perbedaan yang terbentang antara Sunan Kudus dengan masyarakat setempat. Bahkan seluruhnya berbeda, baik ras, agama, budaya, dan sebagainya. Hanya satu kesamaan, yaitu keberadaan sebagai manusia, yang sekaligus merangkul seluruh perbedaan tersebut dalam harmoni yang indah.

Yah, tidak hanya Sunan Kudus, tetapi juga semua penyebar Islam lainnya yang datang ke wilayah masyarakat yang baru. Satu hal yang harus digarisbawahi, bahwa mereka menghadapi dan menyikapi perbedaan itu dengan pandangan hikmah dan penuh kasih sayang.

Sebagaimana dijelaskan al-Qur’an, perbedaan di antara manusia adalah sunnatullah. Perbedaan adalah rahmah. Keberadaan umat manusia yang dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, tidak lain agar mereka saling mengenal, saling memahami, saling bekerjasama, hingga menjadi satu kesatuan dalam kehidupan sosial. Hal inilah yang tampak dalam proses dakwah Nabi Muhammad Saw pada periode Madinah, dimana keberadaan “Piagam Madinah” merupakan aturan bersama untuk mengikat pluralitas dalam masyarakat. Untuk selanjutnya mewujudkan tujuan dan cita-cita bersama dalam bingkai negara Madinah.

Memang, tidak mudah mewujudkan hal di atas. Karena perbedaan secara lahiriah kerap dipolitisir untuk kepentingan tertentu. Namun, untuk merawat harmoni dalam masya-rakat, Nabi Muhammad Saw tak luput menampilkan teladan bagi umatnya.

Ib ingat tentang penjelasan yang pernah diungkapkan oleh Kang Badri. Menurutnya, ketika awal-awal membangun “negara Madinah”, sentimen kebangsaan dan agama di kalangan kaum Yahudi menjadi kasus yang kerap muncul dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan mereka yang tidak benar-benar menerima kepemimpinan Nabi Saw di sana. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghalangi Nabi Saw untuk berbuat baik. Beliau tetap menghormati dan menjalin silaturrahmi dengan mereka.

Konon, pada suatu hari di sebuah pasar, seorang dari Yahudi berbicara kepada khalayak.

“Demi Dzat yang memberikan kelebihan kepada Musa atas semua Nabi!” katanya.

Salah seorang sahabat Nabi Saw mendengarnya dan tidak bisa menahan perasaannya. Dia pun menghampiri Yahudi itu. Bertanya.

“Apakah dia juga lebih tinggi kedudukannya dari Muhammad?”

“Iya.”

Karena saking marahnya, sahabat itu menampar si Yahudi.

Teringat bahwa mereka yang memusuhi Nabi Saw, juga mempercayai keadilan dan kemuliaan beliau, Yahudi ini langsung pergi menemui Nabi Saw, untuk mengadukan perlakukan yang dialaminya. Dan Nabi Saw pun menegur sahabatnya tersebut.[1]

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah pernah dilewati iringan jenazah, lalu beliau berdiri. Ketika dikatakan bahwa jenazah itu seorang Yahudi, Rasulullah berkata: “Bukankah ia juga manusia?!”[2]

Yah, menjadi manusia. Dan memanusiakan manusia. Tidak lain adalah hal yang harus menjadi kesadaran setiap manusia untuk mengarahkan hidupnya sebagai rahmat bagi sekalian alam. Demikian kesimpulan Ib ketika duduk di beranda depan masjid Menara. Menatap siang yang merambat turun dari puncaknya. Di depannya, lapak-lapak dagangan sepi dari pembeli.

Pada siang yang panas dan lengang itu, hanya beberapa orang saja yang tampak di masjid. Duduk bersandar pada tiang-tiangnya, membaca al-Qur’an secara bil ghaib atau hafalan. Sesekali mereka mengecek atau membalik halaman al-Qur’an untuk kemudian meneruskan bacaannya kembali. Sementara pada jalanan menuju lokasi makam, tak banyak peziarah yang berlalu-lalang. Itu pun dalam selang waktu yang jarang. Ketika melintas, mereka tampak bergegas dengan tangan melindungi wajah dari terik matahari yang nyalang.

Lihat selengkapnya