9

Syauqi Sumbawi
Chapter #26

26

TIDAK ADA pengalaman yang berkesan tanpa melibatkan rasa dalam diri manusia. Tidak ada pengalaman yang paling sering diceritakan tanpa kebertemuan di antara manusia. Dari kesemuanya, pengalaman tersebut umumnya berkaitan dengan hal-hal jasmani atau inderawi. Bukan hal-hal yang bersifat spiritual.

Pada suatu ketika bersama rombongan, para peziarah akan menghadapi suasana pengalaman jasmani atau inderawi yang sama. Duduk menghadap makam, membaca tahlil bersama-sama, kondisi tubuh yang lelah, dan sebagainya. Namun dalam kebersamaan itu, apakah pengalaman spiritual yang dialami juga sama?! Tentu saja, tidak. Karena cukup panjang rentang jarak perbedaan di antara pengalaman spiritual itu, maka kebanyakan orang tidak akan menceritakan-nya secara umum. Kalaupun diceritakan juga, para pendengarnya pasti akan terdiam segera. Seperti pamit untuk menakar dengan pengalaman spiritual pribadi. Mungkin juga ber-muhasabah atau mengevaluasi diri. Walhasil, ruang penceritaan tentu saja akan berubah menjadi tak semeriah biasanya. Apalagi di warung kopi.

Tidak seperti pengalaman jasmani atau inderawi, diperlukan kesiapan dalam pengungkapan pengalaman spiritual. Baik pendengarnya maupun kondisi tempat dan waktunya. Salah-salah, malah akan melahirkan berbagai dugaan pada diri pendengarnya. Juga keragu-raguan dan kesalahpahaman. Menurut Ib, hal ini berbeda dengan kisah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw, yang memang dimaksudkan sebagai ujian keimanan bagi umat Islam dan umat manusia pada umumnya.

***

 

DI SEBUAH warung makan tak jauh dari lokasi masjid dan makam, Ib duduk mengawasi kondisi sekitar. Sepiring nasi rames telah berpindah ke dalam perut keduanya. Sedangkan dua gelas berisi air teh memperlihatkan sisanya di atas meja. Dari pemilik warung, Ib mendapat cerita bahwa setiap minggu Musa selalu berziarah ke makam Sunan Muria. Biasanya datang menjelang waktu Ashar, seperti saat itu. Karenanya, Ib pun tidak heran, jika Musa akrab dengan pasangan suami-istri enam puluhan tahun pemilik warung itu.

“Setelah jamaah shalat ashar dan ziarah ke makam, biasanya Mas Musa mengajar santri-santri TPQ kampung bawah sana,” kata si suami.

“Dan yang luar biasa adalah istiqamahnya itu lho, Mas. Tidak pernah sekalipun tidak datang. Mas, eh… ustadz Musa selalu datang,” tambah si istri.

“Ada apa, Budhe?! Kok tumben panggil ustadz, ustad… Biasanya panggil cung, kacung,” kata Musa tertawa, kembali dari kamar kecil. “Yang ustadz ya beliau itu. Ustadz Mustafa Ibrahim. Meskipun gundulan tidak pakai peci dan bercelana jeans, orangnya alim.”

Pasangan suami istri itu menatap Ib. Mulai dari atas hingga ke bawah.

“O, begitu ya, Cung!”

“Iya Budhe,” komentar Musa kocak memberikan tekanan ketika mengangguk. “Dan sebentar lagi dia akan pergi ke Timur Tengah. Tanah Arab.”

Lha, mau apa? Jadi TKI?”

“Ya nggak toh, Budhe. Tapi, mencari ilmu. Sekolah. Mengaji,” kata Musa memberikan penegasan pada setiap kata yang diucapkannya.

“Lha, Cung… untuk mengaji saja kok ya pergi ke Arab segala. Kenapa tidak di sini-sini saja?! Di Kudus kan juga banyak pesantren.”

“Ya, nggak begitu toh, Budhe. Dia ke sana itu ingin mengikuti jejak para kyai-kyai itu, lho. Seperti Mbah Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU. Juga Mbah Arwani Kudus.”

“O, begitu ya?!”

“Iya, budhe. Lha sebelum berangkat ke Timur Tengah, dia ingin berziarah walisongo lebih dulu.”

“Ooo…”

Lihat selengkapnya