9

Syauqi Sumbawi
Chapter #27

27

APA MAKNA gunung bagi spiritualitas umat manusia?! Sebelum turun wahyu pertama, Nabi Saw berkhalwat di gua Hira’ yang berada di Jabal Nur. Karena ingin melihat-Nya, Nabi Musa diperintah pergi ke bukit Thursina. Tidak sedikit di antara tokoh-tokoh agung dalam kehidupan manusia, memilih hidup di gunung.

Yah, posisi gunung memperlihatkan keberjarakan. Bukan terpisah. Tetapi posisi berjarak dari aktivitas keseharian manusia. Posisi untuk membaca rupa-rupa manusia dan segala peristiwa. Posisi untuk membaca diri. Mengenal diri. Dan mengenal Tuhannya.

***

 

DI BERANDA loteng masjid, Ib berdiri menumpukan tubuhnya pada pagar pembatas. Malam temaram bersama cahaya rembulan. Pada batas pandangan matanya, bayang-bayang pepohonon menyelimuti hijau perbukitan. Cahaya lampu-lampu rumah dan jalan di kaki bukit, tampak muram mena-han hawa dingin. Tak seperti bintang-bintang yang ceria berpendar. Merasakan dingin, Ib mengancingkan jaketnya dan mengeratkan kedua tangan ke tubuhnya. Kemudian mengarahkan kembali perhatiannya pada lanskap malam yang penuh bayang-bayang.

Beberapa saat yang lalu Ib memutuskan untuk menyudahi bacaan surat Yaasin-nya sementara. Dia ingin merebahkan tubuhnya di penginapan dan berencana melanjutkannya kembali lepas subuh nanti. Ib bersyukur, sejak tiba di lokasi makam Sunan Muria, dia sudah menyelesaikan separuh amalannya. Ketika melewati beranda masjid, dia berhenti. Sejenak menikmati malam. Tak jauh di belakangnya, tiga orang peziarah laki-laki tampak tidur di masjid. Mlungker dalam sarung menahan dingin.

Dalam diam menatap bayangan malam, Ib tahu bahwa Raden Umar Said adalah putra dari Sunan Kalijaga. Seperti ayahnya, beliau berdakwah dengan cara yang lembut. Dengan hikmah dan tutur kata yang baik. Ngemong, istilah dalam bahasa Jawa, yang berarti melindungi dan membina. Maklumlah, sasaran dakwah beliau adalah masyarakat pedesaan di daerah pegunungan, yang merupakan kalangan rakyat kecil. Karena yang dihadapi adalah masyarakat tradi-sional, maka pendekatan budaya dan saluran kesenian yang menjadi kegemaran, seperti gamelan dan wayang, menjadi sesuatu yang vital di dalamnya. Tidak hanya itu, Sunan Muria juga dikenal sebagai pencipta tembang sinom dan kinanthi, sebagai piwulang bagi masyarakat.

 Dalam sebuah tulisan yang pernah dibacanya, Sunan Muria digambarkan sebagai seorang wali yang sakti mandraguna. Hal ini kemudian dijelaskan dalam kisah pernikahan beliau dengan Dewi Roroyono, putri Sunan Ngerang.

Konon, pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap duapuluh tahun. Seluruh muridnya diundang, di antaranya adalah Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tak lupa para tetangga dekat dan sanak kerabat dari jauh.

Setelah tamu berkumpul, Dewi Roroyono dan adiknya, Dewi Roro Pujiwati, keluar menghidangkan suguhan. Kedua-nya adalah gadis-gadis yang cantik. Terlebih Dewi Roroyono, yang terlihat bagai bunga yang sedang mekar-mekarnya. Salah seorang murid Sunan Ngerang, yaitu Adipati Pathak Warak menatapnya dengan mata tak berkedip. Biji matanya hampir keluar lantaran terus-menerus memelototi gadis itu. Dia sangat tergila-gila. Menjadi lupa diri.

Tanpa malu, Pathak Warak pun menggoda gadis itu dengan ucapan-ucapan tak senonoh. Tidak cukup, dia juga berlaku kurang ajar dengan memegang bagian tubuhnya. Sebagai perempuan, tentu saja Dewi Roroyono merasa malu diperlakukan seperti itu. Seketika dia mengungkapkan kemarahannya dengan menumpahkan minuman ke tubuh laki-laki kurang ajar itu. Pathak Warak gelap mata. Hatinya mendidih. Dia bersumpah akan menculik gadis itu. Tak peduli dia putri gurunya.

Berita penculikan Dewi Roroyono pun tersiar. Sunan Ngerang berikrar, bagi laki-laki yang berhasil membawa putrinya kembali, akan dijadikan suaminya. Jika perempuan, akan dijadikan saudara. Yah, sayembara tersebut mirip dengan sayembara pada kisah-kisah yang lain. Barangkali dulu, umumnya sayembara memang seperti itu, pikir Ib.

Tak ada yang mengajukan diri. Semua tahu, Pathak Warak sakti dan kasar perangainya. Apalagi dia juga seorang adipati. Punya kuasa dan prajurit. Tidak ada yang bersedia, kecuali Sunan Muria. Di tengah perjalanan, Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri. Adik seperguruan yang lebih dulu pulang setelah acara syukuran. Keduanya meminta Sunan Muria kembali. Karena murid-murid padepokan gunung Muria membutuhkan bimbingannya. Biar upaya membebaskan Dewi Roroyono diambil-alih oleh keduanya. Juga meyakinkan, jika berhasil, kakak seperguruannya itu tetap berhak memperistri Dewi Roroyono.

Lihat selengkapnya