9

Syauqi Sumbawi
Chapter #28

28

KETIKA anak manusia merasa ujub dan sombong dengan kekayaan, kekuasaan, kepandaian, atau lainnya, hal itu disebabkan dia hanya memandang dua cermin, yaitu cermin diri sendiri dan cermin orang-orang yang tampak lebih kecil darinya. Bukankah cermin selalu memberikan gambaran yang keliru dari wujud aslinya?! Begitu juga selfie?!

Yah, dia hanya belum menyaksikan atau bahkan mengabaikan kenyataan, bahwa masih banyak orang lain lebih darinya. Di atas langit, masih ada langit. Di atas gunung, masih ada gunung. Masih ada lagi. Masih ada yang lebih tinggi. Lantas siapa dan dimanakah, dia?! Itulah rahasia langit. Ketika awan putih membukanya, kesombongan pun terbelalak dan menyusut.

***

SENIN DINI hari. Knalpot sepeda motor meraung-raung, menyibak malam yang hening dan dingin. Ib tengah makan sahur ketika satu-persatu peziarah datang. Langsung pergi ke masjid. Sebagian di antara mereka singgah di warung. Menikmati minuman hangat.

Ada tiga orang peziarah di warung itu bersama Ib. Ketika melihat seorang yang dikenalnya lewat, mereka menyapa.

“Sini! Anget-anget. Subuh masih lama.”

“Iya. Paling juga yang sudah sampai di masjid, sedang tidur. Kedinginan.”

“Sambil tunggu yang jalan kaki. Termasuk ibunya anak-anak. Katanya, takut naik ojek.”

“Takut naik ojek apa takut diculik?!” sahut peziarah berjaket Liverpool yang baru datang itu. Kemudian memesan jahe panas.

“Diculik?! Kayak, Dewi Sinta saja.”

Lha iya, toh?! Katanya, sampeyan itu Rama… ra mari-mari. Nggak selesai-selesai.”

“Apanya?!” Peziarah Rama itu tertawa.

Olehe sengsoro…” sambut peziarah peci putih.

Seketika peziarah Rama tertawa. Terlepas kata misuh dari mulutnya.

Lha iya, toh?! Pakai misuh segala. Kalau begitu terus, kapan selesainya kesengsaraan?!” kata peziarah Liverpool.

Astaghfirullah…” seru peziarah baju kotak-kotak diikuti yang lain.

Dalam diamnya, peziarah Rama merasa seperti dihakimi. Sementara yang lain tampak sedang menghirup minuman hangatnya.

“Capek juga ternyata,” ujar peziarah Rama, kemudian menguap.

Lho, katanya latihan…” kata peziarah Liverpool.

“Latihan apa?! Jalan kaki, kuli cangkul, apa...?!”

“Bukan. Kalau itu, sampeyan sudah biasa.”

“Terus, apa?!”

Ehm…kabarnya sampeyan mau pergi haji.”

Oalah… ngomong taek, ta?!” katanya. Kemudian tertawa mengikuti yang lain.

Lihat selengkapnya