9

Syauqi Sumbawi
Chapter #29

29

PADA ANGKUTAN UMUM dari Colo menuju Kudus, Ib melanjutkan perjalanan. Jalanan menurun dan berkelok. Di beberapa bagian jalan berbatas besi di kelokan, curam jurang menganga. Duduk di sebelah kanan paling belakang, Ib melihat pepohonan berderet. Menjauh, seperti langkah waktu. Begitu pula gunung Muria.

Kondisi jalan cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang melintas di siang itu. Menyaksikan jarak yang tertinggal dari balik kaca belakang, Ib teringat kembali pada rumusan tentang tema dakwah Sunan Muria. Lantas, merangkai semua dalam pikirannya.

Dalam gambaran imajinernya, Muria dan juga daerah pegunungan lainnya, adalah wilayah “terpencil” dalam kehidupan sosial masyarakat dan pemerintahan. Wilayah yang kerap terabaikan, wilayah yang jarang tersentuh, dan wilayah yang terakhir mendapatkan kesempatan terkait pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari wilayah-wilayah pegunungan, tidak hanya di Indonesia, tetapi seluruh negara di dunia. Semakin ekstrim keberadaannya, maka semakin lama terabaikannya. Tentu saja bukan wilayahnya, melainkan masyarakatnya.

Pada sudut pandang politik-kekuasaan, wilayah pegunungan baru menjadi “penting” dan mendapatkan perhatian dari pusat pemerintahan, ketika di sana muncul sebuah kekuatan yang menggoyang stabilitas negara, baik gerakan separatisme, gangguan keamanan, maupun ancaman dari pihak luar. Dan setelah permasalahan tersebut reda, maka dipastikan, reda pula perhatiannya. Seperti hujan di musim kemarau.

Yah, kondisional sifatnya. Dan biasanya, hanya berkaitan dengan bidang politik keamanan. Lantas, bagaimana dengan dimensi kehidupan sosial yang lain, seperti ekonomi, keagamaan, pendidikan, budaya?! Umumnya hanya muncul sebagai wacana dan isu-isu musiman mengikuti gejolak politik. Seperti bunga desember. Pada kondisi pemerintahan yang gaduh, maka entah kapan kesejahteraan masyarakat wilayah terpencil akan menjadi perhatian. Positifnya, meskipun dalam kondisi “terpinggirkan”, mereka adalah kumpulan individu yang kuat dengan kearifan lokal. Hidup dalam kebersamaan dan swadaya. Barangkali inilah, poin penting dari perjuangan dakwah Sunan Muria, yaitu Islam dan jaminan kesejahteraan sosial, terutama masyarakat yang kondisinya terpinggirkan.

Belajar dari hal itu, maka negara harus hadir. Mempersiapkan dan memberdayakan kader-kader sebagai agen perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat di wilayah terpencil tersebut. Sederhananya, kader tersebut berasal dari daerah, yang kemudian pulang untuk membangun masyarakat daerahnya. Atau kader yang berlatarbelakang kultur yang sama dengan masyarakat tersebut.

Menurut Ib, apa yang dilakukan Sunan Muria di gunung dan hutan tersebut, adalah untuk melengkapi perjuangan Sunan Kalijaga, ayahnya, yang setelah pengembaraannya, hidup di ibukota kerajaan Demak, yaitu sebagai konseptor budaya Islam-Jawa.

***

 

MELAJU bersama bis menuju kota Demak, mata Ib terpejam. Tak kuasa menahan kantuk. Lelah yang menggerogoti tubuh, membuatnya menumpukan seluruh beban tubuh pada sandaran kursi.

Dalam kondisi antara tidur dan tidak, tak jarang telinga-nya menangkap jelas suara-suara yang bergetar di udara. Teriakan kenek, suara bus berhenti dan melaju kembali, percakapan singkat kondektur dengan penumpang baru, dan sebagainya. Ib tahu, tak jauh perjalanan menuju Demak. Kurang dari satu jam perjalanan, jika lalu-lintas lancar.

Dengan mata terpejam, dia mendengar suara pengamen menyapa penumpang. Kemudian menyanyi diiringi gitar. Lagu balada. Demikian akrab di telinganya. Sejenak terbayang olehnya seorang penyanyi berambut gondrong dan berkumis lebat. Kepalanya tertutup kain yang terikat di bagian belakang. Bercelana hitam panjang. Bertelanjang dada. Berdiri membawa gitar dan bernyanyi.

Perlahan Ib membuka mata. Melihat pengamen itu dia tersenyum. Ternyata, bayangannya salah. Pengamen itu tidak gondrong dan kurus. Bertubuh gempal dan tingginya sedang. Kepalanya gundul dan berkacamata minus. Dia berdiri menyandarkan tubuhnya pada bagian belakang sandaran kursi. Namun, yang lebih mengejutkan Ib adalah episode berikutnya. Usai lagu dinyanyikan, pengamen itu membaca puisi. Entah, bagaimana tanggapan para penumpang yang lain. Dan Ib pun menikmatinya dengan perhatian seksama.

Ib mengambil uang di saku celana. Ketika pengamen itu lewat dengan wajah yang ramah, dia pun men-cemplung-kannya pada gelas plastik bekas yang tersodor.

Lihat selengkapnya