“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?, kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenang-an sesudah menderita kedzaliman. Dan orang-orang yang dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” [QS. Asy-Syu’ara [26] ayat 224-227]
***
SEJARAH menyebutkan bahwa konteks masa turunnya al-Quran berlangsung ketika syair atau sastra menjadi puncak kebudayaan dan para penyair menduduki posisi tinggi dalam budaya dan kehidupan masyarakat Arab. Kedudukan dan pengaruhnya sekelas dengan pemimpin kabilah. Jika pada satu kabilah terlihat memiliki bibit penyair, maka kabilah-kabilah lain akan berdatangan. Memberi selamat, hadiah, dan mengadakan pesta.
Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Jika pemimpin kabilah adalah elite di bidang sosial-politik, maka para penyair elite sosial-budaya. Keduanya sama-sama memiliki prestise dan pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Saking dihormatinya penyair kala itu, mereka punya peran sosial di masyarakat. Ketika pemimpin kabilah menyatakan perang, kata-kata penyair menggerakkan keberanian. Ketika dua suku bertikai, diplomasi para penyair sangat ampuh dalam merajut perdamaian.
Di mata pemimpin kabilah, kata-kata para penyair bisa menjadi ancaman dan bisa juga menjadi bonus bagi kekuasaannya. Karena itu, mereka menjalin hubungan mutualisme dengan para penyair. Keberadaan para penyair dibutuhkan untuk menaikkan pamor dan kedudukan pemimpin kabilah. Sementara jaminan hidup, terutama ekonomi dan keamanan, diperlukan para penyair untuk kelangsungan hidupnya. Yah, baik pemimpin kabilah maupun penyair, keduanya penting dalam menjaga eksistensi masyarakat dan kebudayaannya.
Kondisi masyarakat Arab pra Islam di atas, tentu berbeda dengan masyarakat wilayah lain. Begitu juga pada periode-periode berikutnya. Hubungan mutualisme biasanya mempertemukan antara elite politik dan tokoh agama. Karena itu, dalam periodesasi sejarah dan kebudayaan di Indonesia masa lampau, dikenal dengan masa kerajaan Hindu-Budha dan masa kerajaan Islam. Demikian pula keberadaan kerajaan Arab Saudi, yang bermula dari koalisi antara pemimpin politik, Ibnu Saud dan tokoh agama yaitu, Muhammad bin Abdul Wahhab.
Terkait hal di atas, bisa dipahami bahwa kedudukan penyair pada masyarakat Arab pra-Islam mirip seperti “ulama”. Kata-katanya ibarat “fatwa” yang mempengaruhi kebijakan dan perilaku. Dari di sini, dikatakan bahwa kebu-dayaan Arab pra-Islam, lebih kental dengan nuansa sekuler-materialistik. Tidak seperti yang terjadi di Nusantara pada periode yang sama, di mana kebudayaan kental dengan nuansa agama dan spiritualitas. Atau di wilayah lain, seperti India, Cina, Persia dan sebagainya. Barangkali, hal itu men-jadi salah satu alasan, kenapa risalah Islam turun di kawasan Arab.
Dalam perspektif budaya, dapat dijelaskan bahwa hadir-nya Islam bersama al-Qur’an adalah untuk memberikan da-sar spiritualitas—tauhid— dan menyempunakan kebudayaan masyarakat bersama nilai-nilai spiritualitas dan moralitas yang ada di dalamnya. Karena itulah, ayat di atas tidak berisi penolakan, tetapi lebih memberikan panduan nilai terhadap penyair dan karyanya. Juga terhadap kerja-kerja kebudayaan lainnya secara keseluruhan.
Demikian penjelasan Kang Badri yang membayang di pikirannya.
Ib tahu, hal inilah yang juga dilakukan oleh para Walisongo dalam menyebarkan Islam. Tidak menghancur-kan budaya, tapi memberikan dasar dan mengembangkannya dengan nilai-nilai Islam, sesuai dengan kepribumian masyarakat tersebut.
“Karena ruang kebudayaan penting dalam pembangunan masyarakat, maka para santri harus berperan di dalamnya. Di setiap ruang kebudayaan. Termasuk sastra. Puisi…” katanya di beranda masjid malam itu.
Kang Badri kemudian menjelaskan, bahwa santri meru-pakan kalangan yang—paling—dekat dengan sastra. Tidak sekadar kata shastri yang menjadi referensi istilah santri, tetapi hal itu terbaca dari pola keseharian, yang akrab dengan ruang-ruang kesusastraan. Keberadaan al-Qur’an dan hadist yang bernilai sastrawi tinggi, konstruksi bacaan shalawat, diba’iyah, nadzam-nadzam, manaqib, pujen, dan sebagainya yang liris dan puitis, serta kitab kuning (terutama akhlaq) yang sarat dengan syair, mengkonfirmasi hal ter-sebut. Karena itu, bersastra atau berpuisi bagi santri adalah bagian dari khittah budayanya.
“Ib, ingat ya! Kembali ke khittah,” kata Kang Badri. Tersenyum. Kemudian pergi ke kompleks kamarnya.