9

Syauqi Sumbawi
Chapter #33

33

MEMBELA KEMANUSIAAN merupakan prinsip utama dari jihad. Sementara dakwah, tidak lain adalah upaya mengembalikan pada kemanusiaan, yang mana di dalamnya, ketela-danan ibarat cermin yang terus memanggil setiap orang untuk mendekat pada kemanusiaannya. Pelibatan diri dalam historisitas kemanusiaan, merupakan syarat keduanya. Hal yang menjadi inspirasi dan semangat dari kehadiran Islam sebagai revolusi dalam sejarah umat manusia.

***

 

PADA BUS yang melaju menembus malam dari terminal Bintoro, Demak, Ib membayangkan dirinya, sang utusan yang membawa pesan untuk memperkuat koalisi antara Kesultanan Demak dengan Kesultanan Cirebon dalam perebutan pengaruh dalam kehidupan masyarakat di pulau Jawa.

Yah, meskipun Demak mendapat legitimasi sebagai pelanjut Majapahit, namun tidak sedikit pusat kekuatan di daerah bekas wilayah Majapahit itu kerap berusaha melepaskan diri dari dominasi politik Demak. Mengganggu stabilitas politik dan menghambat penyebaran Islam. Sementara Kesultanan Cirebon terus bertahan sebagai wilayah penghasil terasi dan hasil laut lainnya untuk dikirimkan ke ibukota kerajaan di Pakuan.

Syarif Hidayatullah, Sultan Cirebon II, melihat bahwa pengaruh Prabu Siliwangi, kakeknya, sangat besar di mata rakyatnya. Hal ini secara tidak langsung kerap menghambat dakwah Islam. Memang, Syarif Hidayatullah sebelumnya telah berkali-kali mendekati kakeknya itu untuk memeluk Islam, sebagaimana neneknya, Nyai Subang Larang yang telah menjadi muslimah, jauh sebelum keduanya menikah. Akan tetapi, usaha itu tak membuahkan hasil. Bahkan, pengaruh Prabu Siliwangi semakin besar, terlebih setelah berhasil menyatukan kerajaan Sunda Galuh.

Kemudian Syarif Hidayatullah mengeluarkan maklumat, yaitu menghentikan pengiriman upeti, termasuk terasi kepada kerajaan Sunda Galuh. Mendengar kabar tersebut, Prabu Siliwangi pun mengirimkan pasukannya. Bersamaan dengan itu, pasukan angkatan laut Demak tiba di pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan serangan. Menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak, pasukan Prabu Siliwangi yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya itu pun menyerah dan memilih masuk Islam.

Peristiwa tersebut membangkitkan kemarahan Prabu Siliwangi. Pasukan besar segera dipersiapkan untuk menyerang Cirebon. Namun hal itu dapat digagalkan oleh Purahita, pemimpin agama tertinggi keraton. Dengan alasan, Cirebon adalah daerah warisan Pangeran Cakrabuwana (Sultan Cirebon I yang juga putra Prabu Siliwangi) dari mertuanya, Ki Danusela. Sementara daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya, Ki Gedeng Tapa, ayah dari Nyai Subang Larang. Apalagi Pangeran Cakrabuana dinobatkan oleh Prabu Siliwangi sendiri sebagai penguasa Cirebon.

Konon, ketika hendak menikah dengan Nyai Subang Larang, Prabu Siliwangi menyetujui syarat pernikahan, yaitu menjadikan Nyai Subang Larang sebagai permaisuri dan akan menjadikan salah satu anaknya sebagai raja. Namun karena Cakrabuana beragama Islam, maka dia tidak berhak untuk hal tersebut. Putra mahkota kemudian diberikan kepada Surawisesa.

Untuk memperkuat koalisi, maka Cirebon dan Demak menjalin pernikahan keluarga di antara kedua kesultanan tersebut. Ada empat yang dijodohkan, yaitu Pangeran Hasanuddin dengan Ratu Ayu Kirana, Ratu Ayu dengan Pati Unus, Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun, dan Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan.

Koalisi Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Prabu Siliwangi. Dia pun mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi Panglima imperium portugis, Alfonso de Albuquerque di Malaka. Untuk menjajaki persekutuan di antara keduanya. Tentu saja, upaya Prabu Siliwangi ini turut meresahkan koalisi Cirebon-Demak.

Akan tetapi, Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah tetap menghormati Prabu Siliwangi. Tidak akan menyerangnya. Bagaimana pun, dia adalah ayah dan kakek dari keduanya. Karena itu, permusuhan antara Cirebon dan Sunda Galuh tidak sampai berkembang ke arah konflik senjata yang berakibat pada lumpuhnya sektor pemerintahan. Sebagai gantinya, kebijakan pembangunan dalam kehidupan sosial, menjadi ruang terbuka bagi persaingan dua pusat politik itu dalam perebutan pengaruh terhadap masyarakat di Jawa bagian barat.

Prabu Siliwangi bukannya tidak senang terhadap Cirebon. Dia juga tidak membenci Islam, karena salah satu permaisurinya sendiri, yaitu Nyai Subang Larang adalah se-orang muslimah. Begitu juga ketiga putranya, Cakrabuwana atau Raden Walangsungsang, Nyi Lara Santang (ibu Syarif Hidayatullah), dan Raden Kian Santang. Dia hanya tidak senang dengan hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab.

Yah, persaingan dalam perebutan pengaruh politik dengan Cirebon. Itulah yang menjadi perhatian Prabu Siliwangi. Karena itu, dia pun mulai membatasi kehadiran para pedagang muslim di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda Galuh, untuk mengurangi pengaruh Islam dalam kehidupan rakyatnya. Akan tetapi, usaha tersebut tidak berhasil maksimal, karena pada kenyataannya pengaruh Islam sangat kuat, bahkan mulai memasuki daerah pedalaman Sunda.

Satu-satunya pihak yang bisa diajak berkoalisi dalam persaingan dengan Cirebon-Demak adalah Portugis. Namun, koalisi tersebut baru terbangun setelah Surawisesa dinobatkan sebagai raja Sunda, menggantikan Prabu Siliwangi. Dengan berbagai klausul dalam perjanjian. Salah satunya, Portugis diberikan kebebasan berdagang, termasuk membangun benteng di Sunda Kelapa dan Banten. Hal inilah yang kemudian menjadikan Cirebon-Demak tak sungkan-sungkan lagi untuk berhadapan dengan kerajaan Sunda Galuh.

***

 

PAGI HARI yang jauh dari riuh. Matahari bersinar menebar hangat di kompleks di sekitar makam Sunan Gunung Jati. Berjalan dari penginapan untuk memulai ziarahnya di sana, Ib teringat pesan sebuah hadits Nabi Saw, yang sangat populer, bahwa jihad terbesar adalah memerangi hawa nafsu. Baik hawa nafsu diri sendiri maupun hawa nafsu orang lain. Terutama para penguasa. Bukan rakyat kecil yang nasibnya selalu terancam dan tertindas, serta selalu menjadi korban setiap terjadi konflik dan peperangan. Lantas, ketika seorang penguasa berbuat zalim dan menindas sesamanya, baik perbuatan maupun melalui hukum dan kebijakannya, maka sebuah kekuatan harus hadir untuk membela kemanusiaan. Hal inilah yang ditunjukkan oleh sejarah kehidupan para nabi, seperti Nabi Musa, Nabi Daud, dan sebagainya. Juga Nabi Muhammad.

Menatap gapura putih yang berdiri tidak jauh di hadapannya, ingatan cerita sejarah yang pernah dibacanya tentang perjuangan dakwah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung memenuhi pikiran Ib. Begitu pula dengan para Walisongo yang lain. Dia tahu bahwa peta atau tema dakwah di antara kesembilan tokoh penyebar Islam di tanah Jawa itu, berbeda satu dengan lainnya. Begitu pula dengan Sunan Gunung Jati, yang menampilkan dua peran dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebagai penyebar agama Islam dan sebagai pemimpin politik kesultanan Cirebon.

Lihat selengkapnya