Tahun 1959 adalah tahun yang membahagiakan bagi sebuah keluarga bermata sipit. Bagaimana tidak? Seperti bunga mawar, putra sulung mereka berhasil lahir dengan selamat tanpa cacat sedikit pun setelah terkandung selama sembilan bulan tiga belas hari. Tapi sayangnya, karena terlahir di era parutan singkong, tidak membuat anak itu tumbuh menjadi seorang bocah yang cerdas seperti gurita.
Saat semua keluarga besarnya yang bermata sipit berfoto sama-sama di halaman depan, dia yang berjejer dengan kelima saudaranya saat itu tersenyum paling lebar, bahkan gingsulnya yang seperti taring ular sampai kelihatan.
Setiap hari dia akan bersepeda ke kebun si kakek untuk memetik sahang bersama dua orang saudara laki-lakinya. Mereka selalu bernyanyi saat pulang meskipun badan terasa capek. Dirinya yang saking terlarut dalam irama lagu tua sampai tidak sadar kalau adik laki-lakinya yang paling bungsu sedang menangis di atas jalan belakang sana karena habis terjatuh dari sepeda.
Nantinya di jalan yang biasa mereka lalui itu akan terendam air saat musim hujan. Maka untuk berangkat ke kebun sahang, dia terpaksa menggendong adik bungsunya di kepala, dan kakeknya pun demikian. Mereka tetap berjalan melewati genangan air yang sepinggang meski tahu kalau di samping mereka, ada seekor ular sanca yang ikut meliuk seperti batang pohon.
Saat negerinya sedang berbenah, dirinya yang baru dewasa memutuskan untuk merantau keluar pulau. Pekerjaan pertamanya di luar sana adalah buruh pabrik.