Kemarin dia dengar langsung dari adik perempuan si pria bermata sipit sendiri kalau si pria bermata sipit akan pulang dalam dua hari lagi. Pikirnya, itu memang benar. Maka selama dua hari belakangan ini, dia sengaja tidak keluar rumah karena tidak sanggup melihat wajah si pria bermata sipit.
Memang wajah si pria bermata sipit sedikit pas-pasan, bahkan tidak cukup untuk kembalian, tapi hatinya benar-benar akan meledak seperti kembang api setiap kali melihat wajah itu. Beruntung, kemarin mereka bertemu saat malam hari. Kalau tidak, mukanya yang memerah seperti jambu pasti ketahuan seperti perawan palsu.
Sekarang dua hari telah berlalu. Hatinya yakin si pria bermata sipit pasti sudah pulang keluar pulau. Dia berjalan keluar seperti burung bangau; menuju warung untuk membeli gula.
Tepat di seberang jalan tempat warung dia berdiri sekarang, terdapat sebuah rumah papan yang tidak lain ialah rumah keluarga besar si pria bermata sipit. Dulu di dalam rumah itulah, si pria bermata sipit lahir, dan di sana pula dia bermain.
Sekarang karena gadis itu pikir si pria bermata sipit sudah pergi, dia bebas seperti burung untuk melihat apa yang dia suka; membayangkan apa yang dia mau. Mungkin suatu hari nanti, pikirnya, di halaman depan rumah itu akan dipasang sebuah tenda biru. Lalu, setiap dekorasinya dia mau warna merah. Kemudian, mereka berdua akan berdiri di tengah-tengahnya. Hatinya langsung berbunga-bunga meski itu hanyalah sebuah bayangan.
Tiba-tiba, dari dalam rumah itu melayang keluar sebuah wajah yang membuat hatinya meledak seketika seperti halnya melihat orang mati yang tahu-tahu hidup kembali. Jelas-jelas dua hari telah berlalu, pikirnya, lalu kenapa pria itu masih ada di rumah itu? Bahkan sekarang pria itu sedang berdiri dan menatapnya dari seberang sana sambil mengemil sepotong kue legit.