“Ada, masih diteliti katanya, tapi enggak benar-benar di depan TKP banget, ya. Kira-kira tiga ratus meter dari TKP, tapi itu pun posisinya di pertigaan. Jadi, keliatannya nyamping.”
Nareswara terdiam sambil menyeruput lambat kopi hitam yang mulai dingin.
“Tapi kata Pak Ihsan, pelaku kemungkinan bakal susah buat dikenali. Dia pakai motor yang gila-gilaan modifikasinya, semua full item, sampai Pak Ihsan enggak tahu itu motor merk apa. Gedenya kayak motor kopling, tapi terlihat kayak matic. Mana itu bajunya item semua, plus helm yang sudah dimodif juga.”
“Ini kayaknya, sih, bukan orang sembarangan, Bun. Enggak menutup kemungkinan dia ilangin semua atributnya,” ucap Nareswara.
“Jadi, katanya dia malang mobil, Pak Ihsan ngerem mendadak, terus Ayah yang keluar. Pak Ihsan, sih, tetap stay di bangku supir.”
“Nih, kamu save nomor Pak Ihsan, ya, buat tanya-tanya detail kejadian,” ucap Bunda Nareswara sambil menyodorkan ponselnya.
Tak lama, tampak Nayaka yang terlihat kebingungan mencari kakak dan bundanya. Lalu akhirnya, mereka bersitatap, Nayaka langsung menghampiri kakak dan bundanya itu. Tanpa basa-basi, ia menyeruput teh tawar milik bundanya.
“Bun, Naya pergi dulu sebentar. Naya janjian di kafe dekat sini, kok. Naya yang minta janjian dekat sini.”
“Oh iya, Nay. Hati-hati, ya.”
Lalu Naya pergi. Langkahnya cepat seperti orang yang buru-buru. Dia menyetir mobil Volvo klasik milik ayahnya. Jarak restoran yang akan dia tuju dari rumah sakit sangat dekat. Bahkan, dia lebih lama menghabiskan waktu di tempat parkir daripada perjalanan menuju kafe tersebut.
Lalu Nayaka menghampiri seorang laki-laki dengan kaus berwarna orchid white yang bahannya tampak melar dan tipis. Celana jin biru cerah, serta sepatu yang harusnya dipakai untuk bermain badminton berwarna oren kemerahan melengkapi tampilannya hari ini. Kulit sawo matang terbingkai oleh rambut hitam ikal berombak. Sementara satu temannya memakai flat shoes dan kaus yang senada, lengkap dengan atasan hitam dengan corak polkadot kecil menyebar.
Nayaka langsung menghampiri mereka yang tampak sibuk dengan laptopnya. “Hei, sudah lama?”
“Sudah, Nay. Duduk, Nay, mau pesan apa?”
“Kopi makiato satu, ya, sama wafel.”
“Ya sudah, bentar, gue pesanin.”
“Nay, gimana bokap?” tanya Aleon.
“Alhamdulillah, sudah baikan.”
“Ya ampun, ada-ada saja, ya.”
“Iya, nyokap jadi overthinking, deh, akhirnya. Oh iya, gue enggak lama, ya, soalnya gantian sama nyokap. Terus ada abang gue balik dari Aussie.”
“Oh iya, Nay, siap.”
Tak lama, Femi yang baru saja memesan kudapan dan minuman untuk Nayaka berjalan menghampiri Naya dan Aleon.