Mereka langsung meluncur ke TKP. Nayaka serius menyetir, sementara kakaknya serius memandangi ponsel, dia yang mengarahkan arah jalan. Tol Cawang saat itu sepi, Nayaka menggeber mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Lalu sampailah mereka di sebuah gang kecil, mereka berjalan ke dalam gang yang berpagarkan tembok yang bergaya unfinished, setelah sebelumnya menitipkan mobil mereka di kantor kelurahan yang tak jauh dari situ. Mereka berjalan ke dalam gang.
“Mas, kalau ketemu pelakunya, mau ngapain?”
“Mas mau main hakim sendiri!” jawabnya lantang.
Mereka berjalan melewati rumah-rumah warga.
“Udahlah, enggak usah, Mas. Entar malah bikin masalah baru.”
“Bodo amat! Pokoknya, nanti Mas mau izin dulu sama Bang Fajar.”
Nayaka kehabisan kata-kata untuk menanggapi keinginan kakaknya yang sedang ngotot tersebut. Mereka lanjut berjalan.
“Aduh!” ucap Nareswara setengah berteriak.
“Hehehe.” Nayaka tertawa melihat kakaknya yang menabrak jemuran baju berwarna biru tua menggantung. Wajahnya tepat mengenai celana dalam belel berwarna pink, entah punya siapa celana itu, tetapi kalau dilihat-lihat dari ukurannya, seperti milik si obelix.
Tak sulit untuk menemukan lokasi tersebut, karena ada warung dan tailor sebagai penanda yang berdampingan di depan lokasi kontrakan tersebut. Pada saat Nareswara dan Nayaka sampai di sana, ternyata polisi sudah mensterilkan kontrakan tersebut dengan memasang police line.
Nayaka dan Nareswara hanya bisa diam, tak berkutik. Mereka hanya bisa memandangi kontrakan petak sederhana dengan warna cat putih krem kekuningan dengan lis kayu berwarna cokelat gelap kehitaman. Jantung mereka ikut berdegup kencang, seperti kuda dalam pacuan. Dalam ketegangan, mereka coba mencari sosok Bang Fajar yang sedari tadi tidak terlihat.
Seorang ibu berambut ikal memakai daster berwarna kuning dengan motif batik berwarna cokelat susu itu berbicara kepada dua orang ibu-ibu yang sedang menenteng sayuran dalam beberapa plastik hitam yang menggantung pada jari-jari mereka. Seorang ibu yang mengenakan pakaian berwarna abu dan kerudung bergo berwarna biru dongker itu sangat serius mendengarkan ucapannya.
Saking semangatnya ia berbicara, mulutnya sampai monyong.
“Saya sudah males sama dia. Suka bawa cowok gonta-ganti. Mending bawa cowo doang. Sebulan lalu ada perempuan datang ke sini ngegrebek dia sama suaminya. Sudah demen bawa cowok, suami orang pula!” ucap si pemilik indekos.
“Kenapa enggak diusir saja, Bu?” tanya ibu-ibu berkerudung bergo.
“Ya, saya sebenarnya sudah pusing banget kalau ada keributan terus! Tapi masalahnya, dia tuh sudah bayar kontrakan dua tahun di muka. Saya harus cari gantinya dulu. Kalau nanti uangnya sudah ada, akan saya kembalikan sisanya, terus kalau bisa, sih, setelah saya sudah dapat yang mau nempatin.”
Tanpa rasa malu, Nareswara dan Nayaka mendengarkan obrolan itu. Tak lama, perempuan dengan kerudung panjang, gamis panjang berwarna putih, serta sandal karet berwarna biru yang ia lengkapi dengan kaus kaki, datang dan menghampiri.