Nayaka tidak mau ambil risiko dengan membawa mobil tua. Dia menukar mobil Volvo classic itu dengan mobil Subaru XV milik ayahnya. Setelah mengganti baju dan membawa beberapa power bank. Nayakalah yang menyetir. Alih-alih dengan alasan tak sanggup menghadapi peliknya jalanan ibu kota, Nareswara malah berlalai-lalai di bangku penumpang.
Mereka berhenti di rest area Kota Purwakarta. Di sana Nayaka memberi tahu soal perjalanan mereka kepada ibundanya. Dengan perdebatan yang tidak sengit, akhirnya ibunda dapat mengizinkan mereka pergi ke luar kota. Dalam percakapan Nayaka dan ibundanya, sempat terselip narasi wanita simpanan, mengingat pelaku adalah seorang wanita.
Perjalanan ini menghabiskan waktu sekitar empat jam via Tol Jakarta-Cikampek, Tol Cikopo-Palimanan, dan Tol Palimanan-Ciperna. Akhirnya, mereka sampai di pusat Kota Udang tersebut, tetapi mereka memilih untuk menginap di sebuah penginapan dengan kamar terpisah. Rasanya tidak mungkin mengunjungi seseorang tengah malam begini.
Pagi harinya, tanpa adanya pertimbangan, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka memutuskan untuk mengunjungi salah satu mal di pusat Kota Cirebon, yakni Grage Mall Cirebon. Di sana mereka membeli beberapa kudapan untuk di perjalanan. Nayaka membeli sebuah buku catatan dengan motif bunga vintage. Dia memilih-milih pena yang paling nyaman dengan harapan, dia dapat menuangkan setiap puisi ke dalam buku catatan itu ketika mendapatkan inspirasi. Sementara Nareswara membeli dua buah kemeja, kaus polos, dan beberapa celana dalam. Setelah menghabiskan makan siang di kedai ayam goreng tepung kenamaan, tanpa adanya ragu yang memalang, mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini Nareswara yang menyetir.
Lalu sampailah mereka di sebuah kompleks perumahan sesuai dengan arahan Google Maps. Sebuah gapura tua menyambut kedatangan mereka. Nareswara menyetir mobil dengan kecepatan yang sangat rendah. Mata mereka termanjakan oleh wangi basah dan pemandangan rumah-rumah yang dibuat asri oleh kumpulan tanaman-tanaman. Atas saran Nayaka, akhirnya Nareswara menginjak pedal dan menarik tuas rem tangan, lalu bertanya pada seorang ibu tua berdaster merah. Dengan petunjuk dari ibu itu, mereka dengan mudah menemukan rumah yang akan dituju.
Mereka memarkirkan mobil di sisi jalan, berjalan ke arah rumah itu. Mereka menapaki con block yang basah akibat hujan tadi malam. Udara dingin menelusup tiap pori kulit mereka. Pagar rumah dan tembok rimbun oleh tanaman bougainville dengan bungan berwarna ungu dan oren yang bertengger pada daun berwarna hijau tua.
Ada seorang kakek yang sedang duduk pada kursi rotan di teras. Setiap ia tersenyum, seperti sedang berusaha menakut-nakuti, sebab mulutnya sudah seperti jendela. Namun, senyuman itulah yang pertama kali menyambut kedatangan kakak beradik itu. Dia terdengar sedang memanggil seseorang, tetapi artikulasinya tidak jelas. Meski tidak jelas, dia bicara apa, tetapi ia berhasil membuat seorang wanita keluar dari balik pintu.
Seorang wanita yang rambutnya dicepol, berkacamata itu terlihat buncit.
“Mbak Oriza?” tanya Nareswara.
“Iya, betul. Anda siapa, ya?”
“Saya saudaranya Kris Gayatri.”
Bukannya menjawab, dia malah diam seribu bahasa.
“Mbak?”
“Ma-mari masuk,” ajaknya terbata.