Semua seperti tersihir. Tatapan ibunya menjadi kendaraan yang membawa mereka menuju peristiwa silam. Sore itu, Kris sedang berada di rumah Oriza. Bukan tanpa alasan, Kris dan tiga teman lainnya berkunjung ke rumah Oriza saat itu, melainkan karena tugas senam yang diberikan oleh guru PJOK mereka. Ketika itu, ketiga temannya dan Oriza sedang berpusing-pusing menentukan gerakan untuk tugasnya, sementara Kris terlihat sedang menatap foto keluarga yang menggantung di dinding bersama foto lainnya. Di antara foto liburan keluarga Oriza, foto Oriza, dan kakaknya saat masih bayi, foto yang diambil di sebuah studio foto di Bogor itulah yang menyita perhatiannya.
Ia hanya diam memandangi foto keluarga itu. Kebetulan, ibu Oriza lewat sambil membawa tumpukan baju kering yang sudah dijemur, melihat Kris yang mematung di hadapan tembok itu. Ia berhenti sejenak, tepat di belakang Kris. Hanya dua detik ia berhenti berjalan, ia lanjut ke kamarnya dan memasukan semua baju itu ke dalam keranjang berwarna biru tua. Lalu ia kembali ke ruang tamu. Kris masih diam di situ, di depan foto keluarga Oriza.
Ibunya Kris diam di depannya. “Kamu kenapa, Kris?”
Ia menoleh dengan tatapan seperti anak kecil. “Bu, kok, Kris enggak punya foto kayak gini?”
Lalu ibu Oriza memeluk Kris. Dia mengusap-usap rambutnya. Karena Kris sering main ke rumah Oriza, sedikit banyak ibu Oriza tahu latar belakang Kris. Semenjak ayahnya meninggal saat dia masih di bangku SMP, ibunya mengalami gangguan mental. Ia kerap menyiksa Kris. Meski perih takdir yang menyapa masa remaja anak itu, tetapi ingatan tentang masa kecil yang indah bersama ayah dan ibunya saat masih kecil tidak pernah pudar. Ia kerap menjadi samsak emosi ibunya. Untuk biaya dan uang jajan ia dapatkan dari omnya yang kebetulan mengisi sebagian rumahnya. Semenjak ayahnya pergi, dia hanya berdua dengan ibunya. Karena kesulitan ekonomi, mereka bersepakat untuk memenggal beberapa bagian rumah untuk dikontrakan tanpa mematok tarif kepada sang paman.
“Sini, Nak.”
Pelukan itu semakin erat. Pipi Kris semakin basah oleh hujan air mata.
“Ya sudah, minggu depan kita ke Ari Studio, ya. Kita foto bareng sama ibu, Nja, sama si Bapak juga, sekalian kita ajak abangnya Nja,” tawar ibu Oriza.
Dia kehabisan kata-kata, tangisnya semakin pecah.
*
Minggu pagi, Kris sudah nongkrong di rumah Oriza. Sementara Oriza masih tertidur. Ibunya membuat nasi goreng seafood. Padahal hanya makan sarapan bersama, tetapi Kris gemetar. Ternyata, tersenyum bisa dilakukan sambil menangis.
“Bu, Nja, makasih, ya. Sudah lama Kris enggak makan bareng di meja makan.”
“Cong, sudah, ah. Jadi melow gini,” balas Nja kesal, sambil menyeka air matanya.
Setelah selesai makan, mereka berpakaian senada, yakni abu muda sesuai dengan yang mereka rencanakan. Pada saat itu, yang berangkat ialah Oriza, Kris, ibu Oriza dan abang Oriza. Saat itu, ayah Oriza tidak ikut, karena sedang tugas di luar kota. Mereka mengambil beberapa foto bersama. Entah berapa kali Kris menitikkan air mata, sesering itu pula ia ditegur oleh Oriza, karena khawatir make up-nya luntur.
Tiba-tiba, ibu Oriza keluar dari studio. Oriza dan Kris berpikir kalau ibunya ingin beli sesuatu. Ternyata ibunya tiba-tiba menyeret tukang ojek yang usianya kira-kira seumuran ayahnya Oriza. Tukang ojek bertubuh tambun itu dipinjamkan properti baju oleh pihak studio.
“Yuk, foto. Anggap saja ini bapanya Nja. Hehehe,” ucap ibu Oriza.
Setelah selesai, ibu Oriza memberi selembar uang berwarna merah dan selembar uang berwarna biru. Setelah foto, mereka makan di kedai Chinese Food. Mereka mengajak tukang ojek tadi tapi dia menolak diajak makan bersama, ia lebih memilih membungkus makanan yang dibelikan oleh ibu Oriza untuk dibawa ke rumahnya.