Langit mengabarkan pilu dalam biru. Matanya memicing ke arahku. Bukankah aku dari dirimu? Bukan musuhmu. Dalam teriakan, kau coba memainkan derit pintu. Ibu? Mengapa hangatmu tak menjadi candu? Suara gemertak deretan gigimu, penanda bahwa asa itu harusnya memang telah tiada. Aku tak sempat bertanya, hanya menyeka. Hidup hanya menenggak pilu dalam selongsong kalbu.
Akibat ulahnya, kencing sembarangan di kampung. Menjerit tak henti-hentinya. Membuat adik-adiknya sepakat untuk membawanya ke RSJ. Itu adalah salah satu tindakan yang bijak. Setelah mengantar ibunya ke RSJ, Kris dan Oriza pergi ke taman kota. Beralaskan hamparan rumput, ia merebahkan segala pilu. Hari ini cukup melelahkan setelah mengantar ibunya ke RSJ sekaligus mengurusi administrasi perawatan ibunya.
Kenyataan ini pahit, seperti ada jutaan sembilu menancap di setiap pembuluh darah.
Sambil tiduran, Kris bertanya pada Oriza. “Cuma lu yang tahu, kenapa gue enggak betah di rumah dan cuma lu yang tahu kenapa gue males bawa temen ke rumah.”
“Iya-iya, Kris, gue paham.”
Air mata ternyata jatuh begitu pasrahnya.
“Nja? Kok, hidup gue gini amat, ya.” Suaranya terdengar seperti antara menahan tangis dan tawa.
“Gue yakin, rencana Tuhan lebih indah, Kris.”
“Iya, tapi kenapa hidup lu indah? Sementara hidup gue?”
“Tapi kalau dipikir-pikir, mah. Masa iya sudah cantik, lu mau hidup yang indah? Ya enggak seimbang, dong. Kalau gue, plus di nasib, tapi enggak di face. Kalau lu plus di face, minus di nasib. Haha.”Kris menampar lembut kepala Oriza.
Buat apa mempertanyakan takdir, jika pada akhirnya yang kita bisa hanya menghadapinya?
***
Hari ini, Oriza tak mendapat kabar dari Kris yang tidak mengikuti pelajaran. Kris sangat sulit untuk dihubungi. Setelah sampai di rumahnya, tak menyerah ia menelepon kembali. Akhirnya terhubung.
"Kris, lu ke mana aja? Tadi kenapa alpa? Mana tadi ada tes lisan bahasa Inggris."
"Gini, Nja, tadi pagi gue ribut sama paman gue. Tanpa seizin gue, dia bongkar tembok sekat di rumah."