Lelaki yang saat ini mengenakan jaket jin berwarna biru gelap itu mendobrak pintu, merangsek sambil menyeret seorang wanita. Wanita berkulit kuning langsat, dan berambut lurus sedikit berombak itu, tinggi badannya sekitar 156 sentimeter, 23 sentimeter lebih pendek dari Kris Gayatri. Kaus warna taupe yang sedang ia pakai harus ada sedikit robekan, sementara rok plisket berwarna kuning kunyit itu harus terlihat kusut, akibat tertarik tangan kasar.
“Ini cewek yang selalu bikin kamu jadi uring-uringan enggak jelas?”
Lengking tangisannya semakin keras terdengar. Oriza dengan segenap tenaganya, menahan tangan Satria.
“Udah-udah! Tolong, ya, jangan ribut di sini! Aaaa!” Ia menjerit karena geram.
Kris mematung, tangan kirinya gemetar. Ia terduduk begitu saja, seperti orang yang hendak pingsan.
“Mbaaak, denger, ya! Temen saya udah enggak pernah hubungin pacar Mbak, bahkan waktu itu, saya yang pencet tombol blokir ke nomor pacar Mbak.”
Oriza menghampiri Kris yang lunglai. Dia lekas memberi sahabatnya itu segelas air putih. Setelah itu, Oriza mendorong-dorong mantan kekasih sahabatnya itu keluar.
“Maaf, ya, Mbak, saya enggak mau ada keributan di sini. Kalian mau pergi atau saya panggil Pak RT?”
Mereka berjalan perlahan, seperti tersendat, sambil didorong-dorong oleh Oriza. Semua kuteks tumpah dan berceceran, alat-alat nail art pun ikut berhamburan. Oriza memeluk Kris yang lesu seperti orang anemia. Sebagai sahabat, kali ini ia tak banyak bicara, hanya menemaninya menangis.
Tiba-tiba terdengar suara kaca terbelah.
“Ya ampun, ini si kunyuk kenapa lagi, dah?!” ujar Oriza kesal.
Baru saja Oriza beranjak, sepasang kekasih itu balik lagi ke dalam. Mereka masih saja meracau tak keruan. Oriza mencoba melerai. Namun, ia tak kuat. Wanita itu masih saja menangis. Ternyata, kegaduhan ini belum usai. Beraninya Satria menarik paksa tangan Kris.
“Ini ‘kan yang kamu mau?” Satria berteriak.
Lalu, dia mencium bibir Kris. Kris menolak dan sebisa mungkin menghindar. Dia memukul-mukuli mantan pacarnya itu. Mulut Oriza menganga menyaksikan adegan menjijikan itu. Akhirnya, dengan buas Kris mendorong Satria. Entah dari mana ia dapatkan energi sebesar itu. Kris menyeka air mata bercampur ingus yang berleleran pada wajahnya.
“Mbak, saya enggak pernah hubungin pacar kamu, demi Allah. Kamu jangan takut dan curiga. Kalian tega, ya, padahal saya enggak ngapa-ngapain. Jangankan menggangu hubungan kalian, bahkan saya enggak pernah nyindir-nyindir di medsos, misalnya atau apalah,” ucap Kris. Napasnya terengah sebab jengah.
“Mbak tenang aja, ya. Saya jamin, saya enggak akan ganggu hubungan kalian. Tolong jangan remehin saya. Ketika saya udah putus, terus kalian pacaran. Ya, it’s okay, enggak masalah. Aku udah ikhlas. Aku udah enggak mau macam-macam. Kalian pikir, dengan ditinggal cowok, saya bakal nekat gitu ganggu kalian? Duh, Mbak, masalah kayak gini, tuh, sepele banget. Enggak ada apa-apanya! Enggak bakal bikin saya tumbang atau sampai berniat buat ngapain hidup kalian, Mbak. Aku bahkan udah ngerasain yang jauh lebih perih dari ini. Saya yatim, saya cuma punya ibu dan dia ODGJ. Takdir udah sering melatih saya.”
Omongan anak SMA itu terdengar seperti nasihat. Sorot mata penuh iba terpancar dari wajah Satria
“Saya tanya, kamu pernah enggak didiemin, terus enggak dianggap sama ibunya Satria? Mati-matian buat dipisahin dari pacar? Ka-kamu udah pernah disapa sama ibunya Satria aja, kamu udah menang, Mbak.”
Terlihat kepala ibu-ibu terbit dari balik pintu. Daripada semua semakin ricuh, akhirnya mereka angkat kaki.
Benar kata orang, kau harus berhati-hati pada pria yang terpaksa meninggalkan kekasihnya, bukan karena dia yang menghendakinya.
Kris merebahkan tubuhnya, sesaat ia miringkan tubuhnya. Seketika air mata itu mengalir. Ia bahkan sudah tak berhasrat untuk menyeka air matanya. Dunia terasa begitu kejam, pikirnya. Ia bahkan tak menyangka, bahwa ia kebagian skenario hidup yang begitu menyedihkan. Pria yang selalu ia sayangi dan banggakan, datang dengan kekasih barunya.