99

Dianikramer
Chapter #12

DUA BELAS

Setelah pintu berhasil dibuka, terlihat Kris terkapar tak berdaya. Mulutnya mengeluarkan air ludah, tetapi tidak terlalu berbusa. Di sampingnya ada lima kaplet obat sakit kepala yang biasa tersedia di warung-warung. Satu kaplet berisi empat tablet. Jika empat dikali lima, berarti dua puluh tablet obat pusing itu telah meluncur ke dalam perut Kris.

Semua terkaget-kaget dengan pemandangan yang ada di depan mata mereka. Bapak yang tadi membantu mendobrak pintu, dengan sigap memanggil seorang mahasiswa keperawatan yang tinggal tidak jauh dari situ. Dengan sigap dan cekatan, ia membantu memberi pertolongan pada Kris. Untungnya, beberapa butir obat berhasil dimuntahkan dan jarak saat dia menenggak obat dengan kedatangan para sahabatnya tidak terlalu lama.

Kepanikan mulai sirna. Tuhan masih memberikan gadis itu kesempatan untuk hidup meski banyak kekecewaan. Gara-gara kejadian ini, rencana mereka untuk menghabiskan waktu di kolam renang harus batal. Kris tertidur. Di meja kecil di sebelah kasurnya, tersaji satu buah kelapa muda segar. Bukannya berolahraga, teman-temannya malah ikut tertidur di dekat Kris.

Pukul 12.00

Mereka akhirnya terbangun. Hari ini tak sesuai rencana. Rasa kaget benar-benar menguras energi mereka. Tiba-tiba Oriza bangkit, lalu berkata, “Hmm ... kemaren bilangnya, ditinggal cowok, tuh, hal yang sepele,” ucap Oriza meledek.

Kris langsung menutup wajahnya sambil tersenyum dan menyipitkan mata. Kepanikan itu kini berubah menjadi canda tawa.

“Eh, beli rujak ulek, yuk?” tawar Nafisa.

Mereka menikmati pedas, gurih, dan asamnya rujak cocol. Sementara Kris hanya mampu melihat dan sesekali menelan ludah.

***

Tak lama setelah kejadian huru-hara di kontrakan Kris, terdengar kabar, bahwa Satria dan wanita yang pernah ribut di kontrakan Kris telah bertunangan.

***

Siang itu, di rumah Oriza. Ibu Oriza baru saja pulang. Ia membawa dua kantung belanjaan. Sementara Oriza anteng bermain ponsel di sofa di ruang keluarga. Sambil menuang keripik singkong balado, ia berkata, “Neng, temenmu sekarang, kok, suka nongkrong di warung si Abang? Tadi yang layanin juga dia.”

“Oh iya, Bu. Kris emang katanya lagi deket sama anaknya si Abang Batak.”

***

Siang itu, Oriza dan si kembar Nafisa dan Nafila berkunjung ke kontrakan Kris. Nafila bertanya pada Kris. “Kris, emang beneran lu lagi deket sama si Andara?”

“Iya, cuma deket, kok, enggak pacaran.”

“Kok lu mau, sih? Sori, nih, bukannya dia agak bloon, ya?”

“Iya, dia agak kurang. Tapi enggak begitu parah.”

“Kok, lu mau, sih?”

“Ya maulah! Noh, lihat!” Oriza bantu menjawab, sambil menunjuk deretan snack yang berjejer rapi seperti di warung grosir. “Udah gitu dipinjemin motor lagi, biar gampang kalo ke mana-mana,” tambah Oriza.

“Iya, dong. ‘Kan lumayan kalo kosan gue banyak makanan. Lo jadi pada betah ‘kan? Lagian, hati dia, tuh, tulus banget. Terus, kalo gue perhatiin, dia ganteng juga, lho.”

“Ya, emang ganteng, anjir!” kata Nafisa.

“Cuma, ya, itu pas denger dia ngomong, langsung ilfil,” kata Oriza

“Wah ... parah lu!” ucap Nafisa.

***

Sore itu, Kris dan Oriza sedang keliling kampung menggunakan motor matik pinjaman itu. Saat itu, bakso tulang yang ia pesan sudah menggantung pada cantolan motor. Mereka berjalan menuju kontrakan. Si Oriza santai dibonceng, sembari sesekali meneguk es teh pada plastik. Sementara es teh pada tangan kiri dan ponsel di tangan kanan.

Lihat selengkapnya