“Sebenernya ... Kris udah meninggal, Mbak.”
“Meninggal gimana? Ini gimana, sih? Kalian tadi katanya mau nyari Kris, terus sekarang tiba-tiba bilang kalau Kris meninggal.”
Akhirnya, Nayaka menjelaskan kejadian panjang lebar. Tak sekadar kata, ia pun membeberkan bukti foto kematian sahabatnya itu. Paket yang membawa kakak beradik itu ke Kota Cirebon diambil oleh Nareswara.
Oriza terdiam, napasnya tercekat. Nayaka ingin dia tetap tenang dan mengatur napas. Lalu mereka membuka Paket itu. Matanya terus berair. Di dalamnya terdapat dua buah parfum yang sudah diberi sticky notes berwarna kuning, satu untuk Oriza dan satu lagi untuk ibu Oriza. Satu tea set bergaya vintage mewah diperuntukan untuk ibunya Oriza.
Sayang, satu cangkir harus terbelah, mungkin tersenggol pada saat di perjalanan. Satu buah baju tidur dengan bahan sutra berwarna hijau emerald diperuntukkan untuk Oriza. Oriza terus menangis, sambil terus memeluk dan menciumi piyama tersebut.
Ke manakah permintaan maaf itu akan berlabuh?
Nayaka dan Nareswara memutuskan untuk pamit. Oriza begitu sedih tak terperi. Palung dalam tercipta dalam hatinya. Sementara bagaimana dengan Ibu Oriza? Silahkan tebak sendiri.
Mereka pamit, setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Mereka memutuskan untuk kembali ke hotel. Sulit dipercaya, tetapi memang benar adanya. Selama di perjalanan, mereka sama sekali tak bertukar kata. Sesampainya di hotel, mereka istirahat, tidur, dan makan. Nayaka pun memesan jasa pijat refleksi untuk merelaksasi semua otot dan aliran darah, karena kelelahan seharian menyetir.
Pagi hari
Nareswara sudah bangun, sementara adiknya belum. Dia sudah sarapan pun sudah mandi. Ia mencoba mengetuk pintu kamar Nayaka. Matanya masih rekat seperti ditetesi lem, sementara rambutnya mengembang seperti ditaburi baking soda. Setelah bangun, Nayaka langsung cuci muka dan menyantap nasi goreng seafood yang diantar oleh seorang room boy.
Nayaka rebahan sambil menyalakan televisi. Kakaknya membuatkan teh hangat untuknya. Kakaknya mengajak Nayaka untuk keluar dan mengobrol di balkon. Selain disuguhi teh hangat, mereka pun disuguhi oleh indahnya contour bukit yang berundak-undak.
“Mas udah cerita sama Bang Fajar?”
“Udah dikit. Garis besarnya aja.”
“Terus apa katanya?”
“Kayaknya enggak terlalu ngebantu proses penyidikan. Kalo pun iya, kemungkinan kontribusinya dikit.”
“Hmm ... gitu.”
“Terus si pelaku juga pure bunuh diri setelah diautopsi, enggak ada DNA orang lain. Oh iya, tapi tadi Bang Fajar minta tolong kita buat datengin seseorang di Jakarta.”
“Siapa?”