Ella menghela napas. Seperti ada yang menahannya untuk melanjutkan cerita. Sementara Nareswara dan Nayaka mulai terhanyut ke dalam cerita.
“Aku malu sebenarnya buat cerita ini. Jujur, ini rahasia aku sama Kris. Jadi, kita sampai di mansion yang super mewah itu. Mbak tahu kastil-kastil di Eropa? Nah, gaya mansion itu seperti di sana. Pokoknya udah kayak istana. Terus pas kami masuk ke dalam, sebenernya di luar juga berdatangan lagi mobil, mobil yang bawa cewek-cewek kayak gitu lah, dan mereka pun sama digeledah dulu seperti waktu kita masuk disitu. Oh iya mbak kadang aku bingung, ini yang tinggal di situ orang apa raksasa? Soalnya, barang-barangnya punya ukuran yang besar-besar. Meja makan panjang banget, kayaknya, bisa dipake sama seratus orang. Terus nuansanya kayak di Eropa. Kadang bikin takjub, kadang kalau malam, malah terkesan horor. Beberapa ruangan ada yang lantai sama temboknya marmer. Dapurnya aja seluas ruangan kelas, Mbak. Mansion itu punya si Big Boss, kayaknya bukan orang Indonesia. Wajahnya kayak orang Timur Tengah campuran Eropa. Ganteng, tapi terlihat macho banget, kumisnya tebel. Aku kadang bingung, aku sebenarnya ada di dunia nyata apa di dunia mimpi? Soalnya, aku melihat orang-orang memperlakukan dia seperti raja. Pokoknya, kalo Mbak atau Mas suka nonton film mafia, pasti paham keadaan yang aku maksud. Aku enggak pernah lihat dia senyum.”
Nareswara dan Nayaka asyik makan kuaci sambil mendengarkan cerita Ella.
“Percaya enggak, Mbak? Di sana ada kasino juga loh. Pokoknya keren, sih, tempatnya. Kayak di film-film. Aku sempet ngobrol sama satpamnya. Dia bilang, kalo tempat ini diblur di Google Maps, terus drone yang lewat di atas mereka enggak ada yang selamat. Satpam di sana pada pegang senjata, aku juga dikasih lihat tumpukan drone yang hancur. Jadi, mulailah aku kerja, Mbak. Aku kesel sebenernya, karena kita dimasukin semacam akuarium gede, kita udah kayak ikan, Mbak, tapi enggak pake air, ya. Semua pake baju tidur sutra, warnanya beda-beda. Aku pake warna pink rose, kalo si Kris pake warna blue electric.” Ella berhenti bercerita. Ia mulai meneteskan air mata.
“Setelah kita baris datang tiga orang pria. Kayaknya, umurnya sekitar lima puluhan, mereka nunjuk kita buat nemenin mereka tidur. Meraka udah kayak belanja barang mbak, kita diliatin satu-aatu dari atas sampe bawah buat nunggu dipilih. Akhirnya, dua lelaki pilih dua cewek satu lagi pilih satu. Aku bersyukur banget waktu itu, karena enggak satu kamar sama si Kris, karena pasti akward banget ‘kan. Jujur, aku sedih banget waktu itu, mau kabur enggak bisa. Aku threesome, Mbak, sama perempuan yang waktu itu semobil dari Ranco, namanya Isaura. Dia, sih, kayaknya udah pro. Jujur, aku nangis selama melakukan itu, aku inget emak terus. Sebandel-bandelnya aku, aku enggak nyangka aku bisa sejauh itu. Kamu tahu enggak, Mbak, pria yang pake aku siapa?” tanyanya. Lalu dia berdiri dan berjalan ke arah kamarnya, lalu segera kembali dengan membawa poster caleg. Seorang pria dengan senyum optimis dan tangan mengepal. “Dia anggota DPR. Awalnya aku enggak tahu bapak-bapak itu siapa, terus aku lupa pas lagi jalan-jalan sama si Kris, aku nemu pamflet ini di tiang listrik. Aku ketawa-ketawa Kris karena tahu kelakuan aslinya. Pokoknya, Mbak, kalo ini ada di dapil, kamu jangan dipilih! Hehe.”