LULA duduk termenung. Pertemuan tadi membuat Lula diam sepanjang perjalanan menuju apartemen. Berapa kali pun memikirkannya, ia tidak bisa menerima kenyataan, kenapa Fabian semudah itu melupakannya, lalu memutuskan untuk menikah dengan Teresa? Sedangkan selama ini, Lula selalu merindukan cowok itu setiap hari.
“Sejak kapan?” tanya Lula tiba-tiba. Membuat Jeni terkejut. “Sejak kapan mereka saling kenal?” lanjut Lula memperjelas pertanyaannya.
“Empat tahun lalu, hidup Fabian jadi suram sejak lo pergi. Dia ngabisin waktunya buat nangisin kepergian lo. Dua tahun kemudian, dia ketemu Teresa yang bikin Fabian mulai buka hatinya untuk orang lain. Satu tahun setelahnya, mereka resmi pacaran. Dan sebulan yang lalu, mereka mutusin untuk nikah. Itu yang mau gue ceritain ke elo,” jelas Jeni panjang lebar.
Satu detik, dua detik, tiga detik, hening. Jeni melirik sahabatnya yang hanya diam saja.
“Sorry La. Harusnya gue cerita waktu di telpon saat elo ngabarin mau pulang ke sini.”
Lula tersenyum kecut. “Gue bodoh ya? Apa yang gue harapin setelah bertahun-tahun ninggalin Fabian. Gue malah berpikir kalau dia masih nungguin gue, masih cinta sama gue. Ah, kenapa pikiran gue sebodoh itu?" Lula menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Gue benci diri gue sendiri.”
“Lula ...,” panggil Jeni ragu melihat tubuh Lula berguncang. Ia mendekat, lalu memeluk sahabatnya.
Jeni tidak tahu harus melakukan apa. Jika sudah menyangkut hati, semuanya menjadi rumit. Tapi Jeni pernah dengar, pelukan bisa mengurangi sedikit kesedihan. Jeni memeluk Lula erat, membiarkan sahabatnya itu menangis di pelukannya.
--- ooo ---
JENI sudah rapi, ia bersiap mau pergi ke butik. Jeni mengelola sebuah butik miliknya sendiri. Tapi, ia ragu karna harus meninggalkan Lula sendirian di apartemennya. Ia takut sahabatnya itu melakukan sesuatu yang aneh karna sedang patah hati.
“La ....” Jeni menarik selimut Lula karna sahabatnya itu betah sekali tidur dengan selimut yang sampai menutupi kepalanya.
“Kenapa Jen?” Lula mengucek matanya dengan posisi masih tidur. “Kalau elo mau kerja, pergi aja,” usirnya dengan mengibaskan tangan.
Jeni melipat kedua tangannya dan menatap tajam. “Ini udah tiga hari. Mau sampai kapan elo tidur terus?”
Lula diam, seakan tidak tahu harus menjawab apa.
“Sebaiknya elo jalan-jalan, cari udara segar, ketemu cowok tampan dan kenalan. Ya, elo bisa lanjutin hidup lo lagi, tanpa Fabian.”
Nasihat yang bagus, pikir Jeni. Ia bangga bisa mengatakan hal seperti itu.
Lula mendengus, menandakan ia menolak usulan itu. Tapi, sebuah pikiran aneh tiba-tiba terlintas di kepalanya. Membuatnya bangun seketika.
“Jen, gue punya ide. Gue mau ngerebut Fabian dari Teresa. Gue akan bikin mereka batal nikah. Gimana?”
Lula berkata dengan serius, tapi yang didengar Jeni, itu seperti bualan belaka. Ia tergelak, membuat Lula memandangnya tajam.
“Ahem.” Jeni mengatur ekspresi wajahnya. “Jangan ngaco! Elo pikir, setelah elo ngilang tanpa kabar selama empat tahun, elo bisa memperbaiki semuanya hanya dalam waktu seminggu?”
Lula mengangguk cepat. ”Bisa kok! Gue tinggal mohon-mohon sama Fabian buat ninggalin Teresa dan balikan sama gue!”