99 DAYS

Raya Mipi
Chapter #3

DETIK TERAKHIR

“DASAR bodoh!” Teriakan itu berhasil membuat Lula mematung di tempat. Ia mundur selangkah dan menoleh. Mendapati seorang cowok asing menatapnya aneh.

“Siapa lo?” tanya Lula kesal karna cowok itu baru saja menggagalkan rencananya untuk mengobati rasa sakit yang tak tertahankan ini.

Bukannya menjawab, cowok itu malah mengoceh panjang lebar. “Kalau kamu lompat, Neraka Jahanam menyambutmu di bawah. Kamu akan kekal di dalamnya dan para Iblis akan tersenyum lebar karna ada satu manusia lagi yang berhasil mereka jerumuskan ke api neraka. Sampai sini, paham?”

Lula menggeleng cepat. “Nggak!”

Yang ada, Lula pusing mendengar ocehan yang tidak jelas itu. Neraka Jahanam? Para Iblis? Api neraka? Apa cowok itu baru saja menceramahinya tentang dunia setelah kematian? Tidak bisa dipercaya. Siapa cowok itu? Beraninya ikut campur urusan Lula.

“Satu lagi, pria yang kamu cintai tadi akan menikah dengan kekasihnya dan hidup bahagia selamanya. Siapa yang paling dirugikan?” Cowok itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Lula. “Kamu!”

“Siapa juga yang mau lompat?” ujar Lula berbohong. Ia berpikir cepat, mencari alasan. “Gue cuma lagi … nikmatin hembusan angin. Ya, itu.”

“Cih!” Cowok itu mencibir dengan pandangan mengejek. “Udah ketahuan pun, masih saja berbohong.”

“Shittsss... elo ngajak gue ribut?” Lula berkacak pinggang. Amarahnya sudah meluap-luap, membuatnya ingin menjitak kepala cowok sok tahu itu.

Lula berjalan cepat dan berhenti di depan cowok itu. Ia menatap tajam. Kalau dilihat dari dekat, wajah cowok itu tidak asing. Mereka sepertinya pernah bertemu sebelumnya, tapi dimana?

Lula menyadari sesuatu. “Bentar, tadi kan cuma gue dan Fabian di sini, sejak kapan lo datang? Dari mana lo tahu kalau Fabian mau nikah? Jangan-jangan ....” Lula mundur ketakutan. “Lo penguntit ya yang ngikutin gue kemana-mana? Gue jadi merinding.”

Padahal, wajah cowok itu lumayan tampan, tapi tatapannya terasa menakutkan. Lho? Lula mulai mengingat sesuatu, cowok itu bukannya cowok yang ditabraknya di resto beberapa hari yang lalu?

Lula melirik tangan cowok itu yang juga memegang buku bersampul hitam, seperti buku yang tidak sengaja terjatuh waktu itu. Tidak salah lagi, cowok itu pasti penguntit. Wah, Lula dalam bahaya.

“Jangan berpikiran yang aneh-aneh tentang saya dan lupakan niat bodoh kamu itu,” kata cowok itu dengan tatapan dingin dan intonasi datar.

Lula melotot. “Apa peduli lo? Dia aja nggak peduli sama gue. Sekarang lo pergi! Jangan ganggu gue!” katanya sambil mengibaskan tangan, mengusir. Lula tidak mau berdebat lagi. Ia hanya ingin sendirian, menikmati kesedihannya.

“Kalau saya pergi, kamu mau lanjut bunuh diri, gitu?”

“Bukan urusan lo!” teriak Lula keras.

Lula tidak suka ada yang mencampuri urusannya, apalagi seseorang yang bukan teman, bukan keluarga dan bukan siapa-siapa seperti cowok itu. Apa pedulinya jika Lula bunuh diri? Toh, mereka tidak saling mengenal.

“Kalau gue nggak bisa milikin Fabian, apa gunanya gue hidup?” teriaknya lagi, seolah menegaskan, ia tidak bisa hidup tanpa Fabian dan seharusnya Tuhan menakdirkan mereka bersama. Dengan begitu, Lula tidak akan berpikiran bodoh seperti tadi.

“Cih! Dasar, manusia bodoh!”

PLAK!

Sebuah tamparan melekat di pipi cowok itu. Si penampar yang tidak lain adalah Lula, tersenyum puas. Dendamnya terbalaskan. Tidak ada yang boleh mengatainya seperti itu. Salah cowok itu sendiri kenapa mencari masalah dengan Lula yang lagi banyak masalah.

“Apa yang kamu lakukan?” desis cowok itu marah.

“Nampar pipi lo. Apa lagi?” jawab Lula tanpa rasa bersalah.

“Kamu cari mati?” ujar cowok itu penuh penekanan.

Lula terseyum kecil. “Gue nggak mau mati dan nggak boleh mati, sebelum gue balikan sama Fabian. Titik. No debat.”

DEGH!

Lihat selengkapnya