LANGKAH Lula tertahan. Ia mengatur nafas, berusaha mengontrol amarahnya. Lula memang tidak suka melihat Fabian dan Teresa bertemu, tapi ia tidak boleh menunjukkannya.
Lula juga tidak mau membuat keributan karna ia baru saja meminta maaf karna masalah yang kemarin. Jika melakukan kesalahan lagi, Fabian bisa saja membencinya. Lula tidak mau hal itu sampai terjadi.
"Lula, tenang. Lo nggak boleh emosi. Fabian dan Teresa cuman ngobrol doang kok," kata Lula menasehati dirinya sendiri.
Setelah sedikit tenang, Lula menghampiri mereka dengan seulas senyum.
"Sayang!" Lula sengaja mengeraskan sedikit suaranya untuk menegaskan pada Teresa kalau Fabian itu miliknya. Hanya miliknya. "Aku nyari kamu dari tadi," lanjutnya sambil merangkul lengan cowok itu dengan mesra.
"Udah selesai urusan kamu?" tanya Fabian. Mengingat tadi Lula pergi dengan alasan ada sesuatu yang harus cewek itu lakukan.
"Udah." Lula beralih pada Teresa. "Lo kan ...." Lula sengaja menjeda kata-katanya sendiri, seolah sedang mengingat nama Teresa.
"Gue Teresa, kita pernah ketemu di resto."
"Oh iya, gue lupa. Lo ...." Ucapan Lula tertahan karna kepalanya mendadak berdenyut. Lula memegangi kepalanya yang semakin lama terasa sakit sampai tak tertahankan.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Fabian cemas. Bahkan, Teresa ikutan cemas.
"Kepala aku ... sakit ... banget," kata Lula dengan terbata-bata.
Lula mengerjapkan matanya berkali-kali karna pandangannya mulai berputar. Saat bisa melihat dengan jelas, Lula tiba-tiba terbaring di suatu tempat. Beberapa orang yang memakai pakaian serba putih tengah mendorong tempat tidurnya menuju suatu tempat.
Di antara orang-orang itu, ada Jeni yang memakai gaun yang sangat cantik, tapi wajahnya bersimbah air mata. Ah, sayang sekali jika Jeni menangis dengan dandanan seperti itu.
Lula ingin bertanya, kenapa sahabatnya itu menangis, tapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Lidahnya terasa kelu. Bahkan, ia merasa ngeri di sekujur tubuhnya.
"Bertahan La! Lo pasti kuat!" kata Jeni sambil memegang tangan Lula.
"Emang gue kenapa?" tanya Lula, tapi ucapan itu hanya terlintas dalam hati.
Mata Lula terbelalak saat Jeni mengangkat tangannya, ada noda darah.
"Maaf, silahkan tunggu di luar," kata seseorang di antara mereka pada Jeni saat Lula didorong ke sebuah ruangan.
"Tolong selamatkan teman saya, Dok!" kata Jeni sebelum akhirnya pintu ruangan itu ditutup.
Bersamaan dengan itu, Lula melihat cahaya menyilaukan. Membuat ia refleks menutup mata. Saat membuka mata lagi, ia kembali berdiri di sebelah Fabian dengan nafas terengah-engah dan keringat yang mulai bercucuran.
Lula tidak tahu kenapa, rasanya ia kesakitan sekali sampai membuat sekujur tubuhnya melemas dan hampir jatuh jika Fabian tidak segera menahannya. Seketika, semuanya menjadi gelap. Lula pingsan.
--- ooo ---
MATA Lula perlahan terbuka. Ia memperhatikan sekeliling, ia sedang berbaring di ruangan serba putih. Ada Fabian yang sedang menunggunya dengan wajah cemas.