KARNA sibuk mengurusi Ale dan Rani, Lula sampai lupa membuka kiriman paket dari kak Nala, kakaknya yang tinggal bersama orangtuanya di luar negeri. Lula jadi penasaran isi dari paket itu.
Saat dibuka, ternyata itu sebuah lukisan wajah Lula. Lukisannya sangat cantik dan wajah Lula dilukis dengan sempurna.
Dari dulu Kak Nala memang pintar dalam segala hal, ia juga pandai dalam hal melukis. Dibandingkan kakaknya, Lula kalah jauh. Tapi ia tetap senang punya kakak hebat seperti Nala.
Selain lukisan, Nala menyelipkan catatan kecil. Lula langsung membacanya.
"
Selamat ulang tahun adikku tersayang...
Maaf ya, hadiahnya telat.
Kamu tahu kan, untuk membuat sebuah lukisan yang indah memerlukan waktu.
Semoga kamu suka hadiah dari kakak.
Love, Nala.
"
Manis sekali. Komentar Lula dalam hati. Kata demi kata yang ditulis kakaknya itu sedikit menghiburnya meskipun mereka tidak bisa bertemu secara langsung. Lula sempat berpikir Nala dan orangtuanya melupakan ulang tahunnya karna mereka sangat sibuk dengan bisnis keluarga di sana. Tapi Lula salah, Nala masih ingat hari penting dalam hidupnya.
Ingatan Lula membawanya kembali ke masa depan saat ia melihat dirinya terbaring koma di rumah sakit, ditemani keluarganya yang tampak sedih. Lula tidak bisa melupakan wajah mamanya yang basah karna air mata.
Tanpa sadar, Lula meneteskan air mata. Ia rindu keluarganya, terutama mamanya. Harusnya Lula menjadi gadis yang baik dan membanggakan kedua orangtuanya, tapi ia malah mengambil keputusan yang salah dengan menandatangani kontrak kematian 99 hari itu.
Jika ditanya, apa Lula menyesal?
Ya, Lula menyesal. Saat itu, ia tidak memikirkan keluarganya, ia hanya terobsesi untuk memiliki Fabian, sekali lagi.
Lula bodoh sekali. Sekarang, menyesal pun tidak ada gunanya.
HIKS! HIKS!
Lula tidak bisa berhenti menangis. Rasanya tidak adil, Lula hanya menginginkan cintanya, tapi kenapa ia harus membayar mahal untuk itu. Untuk mendapatkan cintanya, Lula harus menukarnya dengan nyawanya sendiri.
"Perasaan macam apa yang membuat manusia dengan mudahnya mengeluarkan air mata?" tanya Azka yang sudah duduk di sebelah Lula.
Lula langsung menghapus air matanya dengan punggung tangan begitu menyadari ada Azka di sana. Ia tidak mau terlihat cengeng, sekalipun di depan seorang malaikat.
"Gue cuma lagi sedih, makanya gue tiba-tiba nangis."
"Saya pernah melihat manusia yang menangis bukan karna sedih, tapi bahagia."
"Nangis bukan cuma saat sedih doang, saat bahagia juga bisa nangis. Namanya airmata bahagia. Emang lo nggak pernah nangis apa?"
Azka menggeleng. "Saya tidak pernah mengeluarkan air mata."
"Oh iya ya. Lo, malaikat. Gue, manusia. Beda lah."
"Lukisannya cantik," puji Azka melihat lukisan wajah Lula.
"Ini hadiah dari kakak gue. Dia jago melukis. Buka cuma itu, dia juga pintar dalam hal belajar, olahraga, pokoknya semuanya deh. Kakak gue itu jenius," cerita Lula begitu saja.
Azka diam mendengarkan.
"Sejak kecil, gue selalu dibandingin sama kakak gue yang lebih segalanya. Makanya, gue milih tinggal sendiri di sini, dibandingin ikut mereka keluar negeri. Gue malas dibandingin terus."
Lula memandang jauh.
"Gue pengen banget buktiin kalau gue juga hebat, meski nggak sehebat kakak gue. Karna itu gue lanjutin kuliah gue keluar negeri dan terpaksa ninggalin Fabian."
Azka masih diam mendengarkan. Lula terus bercerita.
"Tapi gue nggak pernah bisa ngelupain Fabian sehari pun. Gue nggak terima dia nikah sama cewek lain. Apa pun akan gue lakuin agar bisa dekat sama Fabian lagi."