SATU MINGGU KEMUDIAN.
Lula sudah keluar dari rumah sakit. Kondisinya sudah membaik sekarang. Ia bisa pergi kemana pun tanpa menggunakan kursi roda.
Seperti hari ini, Lula berdandan cantik. Ia punya janji bertemu Jeni di sebuah resto. Ia datang lebih dulu. Sambil menunggu, ia mengirim chat pada sahabatnya itu.
"Jen, gue udah nyampe nih. Lo di mana?"
SEND! Pesan terkirim.
Bersamaan dengan itu, seseorang mendekat. Lula langsung menoleh karna berpikir itu Jeni. Ternyata, bukan.
"Hai Lula," sapa Fabian dengan senyum kecil menghiasi sudut bibirnya.
DEGH!
Lula merasa jantungnya baru saja berdebar karna senyuman kecil itu. Tapi ini tidak baik, ia tidak boleh memiliki perasaan itu.
Lula mengerjabkan matanya berkali-kali. Ia salah lihat kan? Tidak mungkin mantannya itu tiba-tiba menyapanya dan tersenyum padanya.
"Aku boleh duduk di sini?" Fabian menunjuk kursi kosong di depan Lula.
Lula kembali fokus, ia tidak salah lihat. Fabian sungguh nyata ada di depannya saat ini.
"Itu tempat Jeni. Bentar lagi dia datang," kata Lula karna ia mengambil meja dengan dua kursi. Ia juga tidak mau sekedar berbasi-basi dengan mantan yang sudah menikah. Ia harus menghindar dengan cepat.
"Jeni nggak bakalan datang. Aku yang minta Jeni buat ketemu kamu di sini biar aku bisa ngobrol berdua sama kamu."
Oh, Tidak! Lula berhasil dibodohi.
"Boleh kan aku duduk di sini?"
"Ya, boleh."
Lula tidak punya pilihan selain menjawab 'Ya.' Ini semua karna Jeni. Lihat saja nanti, ia akan mengomeli sahabatnya yang suka ikut campur itu.
"Kamu apa kabar?" tanya Fabian setelah duduk berhadapan dengan cewek itu.
"Aku ... seperti yang kamu lihat, baik-baik aja," jawab Lula santai, meski ia ingin segera pergi dari situ karna dadanya sesak setiap kali melihat mata itu, apalagi mata itu telah berpaling darinya sejak lama.
"Aku senang dengarnya. Maaf, karna nggak sempat jenguk kamu di rumah sakit."
"Aku yang minta maaf karna nggak bisa hadir di acara nikahan kamu. Meskipun terlambat, selamat atas pernikahan kamu sama Teresa."
Akhirnya, Lula berhasil mengucapkan kata itu. Tidak ada lagi penyesalan ataupun kesedihan. Lula hanya ingin menghargai hidupnya yang sekarang. Ia merasa diberi kesempatan kedua untuk melanjutkan hidupnya yang sempat berantakan. Ia tidak boleh membuang waktunya untuk menangisi masa lalu.
"Soal pernikahan aku sama Teresa, kami ...."
"Tunggu!" tahan Lula sebelum cowok itu menyelesaikan ucapannya. "Aku nggak tertarik dengar cerita kalian. Dan kayaknya, aku harus pergi."
"Aku belum selesai ngomong," kata Fabian sambil menahan tangan Lula yang bersiap untuk pergi.
Hanya satu detik, Lula langsung menarik tangannya menjauh.
"Maaf," kata Fabian tidak enak karna merasa Lula tidak suka disentuh olehnya.
"Kita udah selesai kan? Nggak ada yang perlu diobrolin lagi."
"Selesai?"
"Iya. Kamu udah nikah sama Teresa. Aku akan undur diri. Aku nggak akan ganggu kalian. Aku janji."
"Kamu harus dengerin aku dulu," pinta Fabian setengah memohon.
"Nggak perlu! Aku udah mutusin buat balik ke London. Aku akan menetap di sana. Selamanya."
Selamanya mungkin kata yang bagus agar mereka tidak perlu bertemu lagi, sekalipun secara kebetulan.
"Kamu yakin mau pergi lagi?"