Aku menarik napas dalam-dalam saat melihat bangunan di depanku.
Rumah susun ini... ah, bagaimana cara menjelaskannya dengan sopan?
Bangunannya tampak seperti sekumpulan kotak kardus yang hanya ditumpuk sembarangan, dengan dinding yang warnanya sudah tak bisa ditentukan lagi-mungkin dulunya krem, mungkin putih, atau mungkin memang diciptakan untuk terlihat seperti lapisan kerak minyak gorengan, pun penuh tambalan semen yang seperti ditempel asal-asalan.
Dan kalian tau aroma apa yang sedang menggelitik hidungku saat ini? sebuah kombinasi aroma tak tertahankan dari got mampet, gorengan ikan asin, dan sesuatu yang... entahlah, mungkin bangkai tikus yang sudah membusuk berhari-hari.
Saat kakiku mulai melangkah masuk ke lorong sempit yang mengarah ke tangga, seorang ibu-ibu muncul dari balik jemuran dengan daster yang motifnya lebih ramai daripada pikiranku saat ini.
"Eh, Neng! Mau pindah ke sini?" sapanya ceria, seolah tempat ini adalah apartemen mewah dan dia siap untuk mengajakku berkeliling menikmati suasana.
Aku mengangguk pelan.
"Lah? Ini model yang katanya jatuh miskin itu ya? Duh, kasian amat," lanjutnya, ekspresi simpatinya terlihat lebih nyata daripada saldo rekeningku yang nyaris nol.
“Eh buk, udah tua bukannya mikirin dosa yang udah numpuk malah nyinyirin orang lain.” Aku menatap rendah dirinya. “Denger ya, saya nggak pernah dan nggak akan pernah jatuh miskin. Ngaca buk, kamu lebih miskin!”
“Permisi,” kataku menutup pembicaraan dan buru-buru naik ke lantai tiga, mengabaikan tatapan penghuni lain yang seolah tak percaya dengan penampilan glamourku ini.
Tangga menuju ke atas sempit, licin, dan berbau sesuatu yang tidak ingin aku identifikasi lagi. Pegangan tangannya lengket, dan aku mencoba untuk tidak memikirkan apa alasan itu menjadi lengket.
"Neng ati-ati, itu anak tangganya bolong," ujar seorang bapak yang tiba-tiba muncul dari belakang.
Ya Tuhan... jantungku hampir saja lompat. Aku menunduk untuk mengecek, dan benar saja-ada retakan besar di salah satu anak tangga. Lantai betonnya terlihat rapuh, seperti siap mengirimku ke lantai paling dasar dalam satu pijakan sial.
Dengan hati-hati, aku melewati jebakan maut itu dan akhirnya sampai di lantai tiga. Begitu aku memasuki lorong, udara semakin pengap. Kipas angin berdengung dari dalam beberapa kamar, sangat memecah konsentrasi.
Maaf jika aku berlebihan dalam mendeskripsikannya, tapi kalian memang harus tau bahwa bangunan ini sangatlah menjijikkan.
Aku mengeluarkan catatan alamat dari saku, mencari nomor kamarku di antara pintu-pintu kayu yang dicat seadanya-beberapa pintunya bahkan penuh coretan tangan, entah milik anak-anak atau orang dewasa yang terlalu iseng.
Di ujung lorong, seorang perempuan muda kurus duduk bersandar ke dinding. Tangan kanannya memegang rokok yang sudah hampir habis, sementara tangan kirinya menggoyang-goyangkan botol plastik kosong. Matanya sayu, rambutnya berantakan seperti sudah seminggu tidak dicuci.
Aku melirik nomornya. Oh, sial. Dia duduk persis di depan kamarku.
Aku pun memulai dengan berdehem, mencoba bersikap normal. "Permisi, kamu bisa minggir? Ini kamar saya."
Dia menatapku dari atas sampai bawah, lalu mengernyit. "Serius?"
“Kenapa?”
Dia mendengus kecil. "Selamat datang di neraka vertikal, mbak."
Aku mengerjap. "Maksudnya?"
Dia menunjuk ke belakangku. Aku menoleh--melihat anak-anak berlarian, ibu-ibu sibuk ngobrol sambil mengemil, dan bapak-bapak duduk berjejer sambil merokok, bertelanjang dada seperti komunitas manusia tanpa baju.
"Ntar juga ngerti sendiri," katanya sebelum bangkit dan masuk ke kamar paling ujung.
Aku menatap lamat-lamat punggungnya yang menghilang, lalu beralih menatap tempat di mana aku berdiri saat ini. Bagus, Tabitha. Dari pengacara dan model terkenal kini menjadi penghuni rumah susun kumuh dalam waktu kurang dari sebulan.