99 Ways To Ruin My Life (Feat. a Buron)

amelia
Chapter #3

Percuma Lapor Polisi

"Bulan depan? Pak, ini kasus penipuan! Saya sudah kasih semua buktinya! Kalau kalian gerak cepat, pelakunya pasti masih bisa dilacak!"

Aku menggebrak meja pelayanan, di mana seorang polisi berpangkat rendah yang menerima laporanku baru saja mengatakan bahwa kasusku ini baru bisa diproses bulan depan.

Dengan kurang ajarnya dia hanya tersenyum tipis, "Ibu harus sabar. Banyak laporan masuk, prioritasnya tergantung seberapa genting kasusnya."

Untuk yang kedua kalinya aku refleks menggebrak meja. "Jadi menurut Bapak kalau saya kehilangan uang puluhan juta itu nggak prioritas?"


"Begini, Bu, kalau Ibu mau cepat, ya mungkin bisa ada jalan lain." Nada suaranya terdengar malas.


Aku mempersempit jarak, lalu mencondongkan tubuh sedikit. "Jalan lain? Maksudnya?"


Dia tersenyum samar, seolah aku seharusnya sudah paham apa yang dia maksud.


Oh, sekarang aku paham. Aku sangat paham. Dan aku muak.


Kurapikan rambutku yang sedikit berantakan, menarik napas, lalu berbicara dengan nada paling dingin yang kumiliki. "Pak, saya pengacara, dan saya tahu betul bahwa menghambat laporan atau meminta 'jalan lain' itu masuk ke dalam ranah maladministrasi, dan kalau saya mau sedikit lebih serius, ini bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang."


Kini ekspresinya berubah sedikit lebih tegang. Beberapa orang di ruangan mulai melirik ke arah kami. Aku bisa melihat polisi yang tadi berdiri di dekat pintu belakang bergerak gelisah. Polisi di depanku juga tampak kaget, sepertinya tidak mengira aku akan bicara sekeras ini.


Aku menunjuk formulir yang tadi kutulis. "Saya mau nomor laporan saya sekarang, dan saya akan mengawasi perkembangannya. Kalau sampai saya nggak dapat kabar dalam seminggu, saya bakal lapor ke Propam. Paham?"


Polisi itu berkedip beberapa kali, lalu pura-pura sibuk mencari sesuatu di mejanya. "Baik, Bu. Nanti saya kasih kabar kalau ada perkembangan."


"Tulis nomor laporan saya di sini," paksaku sambil mendorong kertas ke arahnya.


___


Aku bersyukur hari ini masih bisa hidup seperti biasanya, berjalan dengan anggun di tepi jalanan kota Jakarta, berteman deru mesin kendaraan dan aroma aspal yang memanas.


Setidaknya, meski langit kota ini lebih sering abu-abu, aku bisa merasa sedikit lega karena masih ada angin yang berhembus, menyingkirkan bayang-bayang si penipu yang membuat kepalaku akan meledak.


Dengan langkah berat aku memasuki minimarket. Dinginnya lantai keramik langsung terasa di bawah mules maroonku, membuatku ingin berlama-lama di dalam sini daripada harus terkurung di rumah susun pengap itu.


Dari dalam tas berbulu yang tersampir di lenganku, uang receh bergemerincing pelan, mengingatkanku bahwa kehidupan glamorku sudah resmi tamat. Lima ratus ribu. Itu saja yang tersisa dari pesangon yang, ironisnya, lenyap begitu saja ditelan scam keparat itu.


Dengan gondok aku berjalan melewati lorong-lorong minimarket, menatap rak-rak penuh barang yang dulu kubeli tanpa berpikir panjang. Kini setiap label harga terasa seperti hinaan, untuk sementara ini mungkin aku tak akan bisa membeli semua itu lagi.


Aku pun beralih ke rak makanan instan. Dulu, mi instan hanyalah makanan yang kupandang sebelah mata-sesuatu yang kubiarkan mengendap di pojokan dapur sampai kedaluwarsa. Tapi sekarang? Dia mungkin akan jadi sahabatku, penyelamat perutku di tengah kesuraman hidup yang mendadak berubah arah.


Rasanya menyebalkan saat orang berlalu-lalang sibuk dengan belanjaan mereka, tanpa tahu bahwa di sebelah mereka ada seseorang yang hidupnya mungkin akan berakhir di jalanan dalam waktu dekat.


Eh, amit-amit!


Saat tiba di kasir, aku meletakkan barang-barang belanjaanku di atas conveyor dengan gugup. Aku berharap petugas kasir tidak mengingatku sebagai pelanggan menyebalkan yang pernah memakinya dan melempar uang ke arahnya-dulu saat aku masih punya harga diri dan rekening yang patut untuk dipamerkan.


Kini, kelihatannya dia hidup dengan cukup baik. Eum... kenapa dia betah bekerja di sini? Apa gajinya besar? Sepertinya, sih, lebih besar ya dari uang yang kupunya sekarang.


Saat petugas kasir itu tersenyum ramah, aku tidak membalas, sebab terlalu fokus dengan ide cemerlang yang tiba-tiba muncul. "Mbak, ada loker nggak di sini?" tanyaku tanpa basa basi.


Senyumannya tak berubah, tapi ada sedikit kerutan di dahinya yang menunjukkan bahwa ia tidak menduga pertanyaan semacam itu datang dariku. Apa dia mengingatku? Mati, deh!


Ia menggeleng pelan. "Maaf, Mbak, untuk saat ini kami tidak memiliki lowongan."


"Oh, oke." Aku mengangguk kecil, tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan rasa malu yang merayap naik membakar wajahku.



"Kalau ada lowongan, biasanya kami bakal umumin di papan pengumuman itu."


"Lo?" pekikku refleks saat melihat siapa yang berbicara.


Dia, tetangga baruku. Kalau kalian tanya yang mana, ya cowo yang itu lho, yang meledekku tadi malam.


"Kalau emang lagi butuh banget, lo bisa dateng kapan aja untuk cek berkala," katanya sambil menunjuk papan pengumuman di dekat pintu keluar.


Aku melotot. "Eh, eng-enggak! Bukan gue yang butuh lowongan, kok. Ada temen yang minta tolong cariin, gitu."


Lihat selengkapnya