Malam ini aku sedang berbaring santai kasur dengan ponsel yang menempel di telinga, sedang mendengarkan suara di seberang yang menjelaskan detail sisa jadwal photoshootku mendatang.
“Jadi, kita butuh lo ada di studio jam sepuluh pagi. Lo bisa, kan?”
Namun, sebelum aku sempat menjawab, suara gaduh terdengar dari luar. Seperti suara sesuatu yang terbanting, lalu langkah kaki yang berat dan terseret.
Aku mengernyit. Rumah susun ini memang sering ribut, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang tidak beres dengan suara itu.
“Sorry, gue kabarin lagi nanti,” gumamku buru-buru sebelum menutup telepon.
Aku pun segera beranjak dan membuka pintu kamar. Saat itulah aku melihat sosok Agung berdiri di depan kamarnya—atau lebih tepatnya, bertahan agar tidak ambruk.
Darah merembes dari pelipisnya, membentuk garis tipis hingga ke dagu. Bibirnya pecah, ada lebam menghitam di tulang pipinya, dan aku bisa melihat bagaimana salah satu tangannya sedikit gemetar.
Refleks, aku melangkah mendekat. “Heh udik! Lo kenapa?”
Dia hanya menyeringai kecil, berusaha terlihat santai meski aku tahu itu bohong. “Nggak papa.”
Omong kosong.
Tanpa banyak bicara, aku menarik lengannya dan menyeretnya masuk ke kamarnya sendiri. Pintu aku tutup dengan kaki, sementara tangan lainnya sibuk mendorongnya ke tempat tidur.
Agung sempat memberontak, tapi dengan kondisinya sekarang, dia bukan tandinganku. “Ta, nggak usah repot—”
“Duduk. Diem.” Aku menekankan kata-kata itu dengan tajam.
Dia mendesah, akhirnya menyerah. Aku pun bergegas mengambil kain bersih dan semangkuk air dari wastafel kecil di sudut ruangan.
Saat aku kembali, Agung sudah bersandar di dinding, matanya setengah terpejam. Aku bergerak untuk duduk di tepi kasur, merendam kain ke dalam air, lalu dengan hati-hati menekan lukanya.
Sontak dia mengerang pelan.
“Rasain,” kataku ketus. “Kenapa sih orang susah suka bikin masalah?"
Agung membuka satu matanya, menatapku. “Ta...”
“Gue nggak mau denger alasan nggak penting. Lo harus cerita kenapa lo bisa kayak gini." Aku sedikit menekan lukanya, memberitahu padanya bahwa dia memang harus menjawab pertanyaanku.
Namun, dia hanya terkekeh.
"Cepetan cerita! Atau lo gue matiin sekarang juga. Ceritain secara detail apa yang terjadi dari awal sampai akhir. Di mana dan kapan lo digebukin. Siapa aja yg ad-"
"Banyak tanya! Gue bukan klien lo, dan lo nggak lagi jadi penasehat hukum di sini."
Sialan. Lagi, aku menekan lukanya sedikit lebih keras, membuatnya mengumpat pelan.
Dia pun menatapku lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Gue dikeroyok.”
“Sama siapa?”
“Anak buah bandar.”
Aku mengerutkan kening. “Bandar apaan?”
Dia mengalihkan pandangan, “Narkoba.”
Aku membeku. Sedetik, dua detik.
Lalu aku tertawa kecil, menggeleng. “Bercanda lo.”
Tapi Agung tidak tertawa. Matanya kembali menatapku dengan tenang, seolah membiarkan aku mencerna kenyataan itu sendiri.
“Apa lo—” Aku menelan ludah. “Apa lo pengedar?”
“Dulu.”
APA? PENGEDAR? Aku bahkan hampir berhenti bernapas. "Lo?"