Suara mesin pendeteksi detak jantung dengan konstan berbunyi di ruangan sunyi. Menandakan bahwa di ruangan itu terdapat makhluk hidup. Yang bernapas, berdetak, namun matanya terus tertutup. Entah kapan kelopak matanya akan terbuka. Mungkin esok lusa, minggu depan, bulan ini, atau satu tahun lagi.
Aku melihatnya. Memikirkan banyak hal. Seperti, bagaimana jika sebenarnya dia tidak mau bangun. Dia hanya mengulur-ulur waktu, juga perasaanku. Tanpa tahu bahwa di antara kami telah berdamai. Mencoba melupakan perasaan kami, menguburnya dalam-dalam. Bahwa kami membutuhkan dia.
Wajah manisnya menirus. Rambutnya tergerai layu di bahu.
Banyak sekali selang-selang entah apa yang membantunya hidup. Aku menyentuh pipinya, tersenyum miris. Dua tahun. Tidak ada perubahan sama sekali. Andai hari itu... ah, tidak baik mengulang masa lalu.
Lagi pula, dengan mengulang masa lalu, dia tidak akan tiba-tiba terbangun.
“Alex,” seseorang memanggilku. Aku tahu siapa dia. Teman terbaikku sejak kecil, juga salah satu orang yang menunggu dia bangun.
Aku menoleh. “Alvaro,” balasku, mengangguk. “Udah lama nunggu di depan pintu?”