DENGAN pandangan mata bosan, ia melihat wajah merah padam menahan amarah milik cewek itu. Tidak biasanya, cewek berkamata minus itu kehilangan kontrolnya di rapat OSIS. Sore ini pengecualian, karena cewek itu seperti siap meledak kapan saja.
“Saya tidak setuju,” ucap cewek itu dengan nada lantang dan keras. “Prom night itu menyimpang dari budaya kita.
Saya tidak menyetujui diadakannya prom night .” Terdengar bisik-bisik samar dari pengurus OSIS yang duduk di sisi kanan-kiri meja panjang ruangan OSIS. Ada yang berseru setuju, tapi ada juga yang tidak. Masing-masing dari mereka tidak mau bersuara terlebih dahulu, mengingat posisi cewek itu jauh di atas mereka.
Namun, posisi Alvaro sangat jauh di atas cewek itu.
“Prom night bukan lagi budaya Barat, bila itu yang Saudari Anggi maksud. Sekarang sudah banyak sekolah yang mengadakan prom night sebagai tanda kelulusan.
Ditambah, kepala sekolah kita telah menyetujuinya. Tidak ada lagi alasan untuk membatalkan acara ini,” balas Alvaro sambil tersenyum kecil, pandangan matanya masih bosan.
“Jadi saya rasa, perdebatan ini terselesaikan dengan baik.” Alvaro tahu Anggia Serenia Quinindha bukan tipe cewek yang mudah menerima pandangan baru. Maka dari itu, Alvaro sudah menduga reaksi Anggi. Wajahnya semakin merah keunguan, suara giginya bergemeletuk terdengar di seantero ruangan OSIS.
“Tetap saja, itu sebagai penunjuk bahwa moral bangsa kita telah turun,” ucap Anggi kesal.
“Mungkin itu hanya pikiran kolot Anda,” balas Alvaro.
Anggi mendengus geli. “Atau pikiran Anda sudah terganggu, dan syaraf Anda telah terputus.” “Interupsi bahasa,” seorang pengurus OSIS mengacungkan tangannya, menghentikan perdebatan kecil antara Alvaro dan Anggi.
Mendengar interupsi itu, Anggi melotot dengan wajah menyeramkan, yang menurut sebagian orang akan menjadi mimpi buruk, sementara bagi Alvaro adalah kesenangan tersendiri.
Anggi merapikan barang-barangnya yang berserakan di meja, lalu memasukkannya ke dalam tas. Dengan dagu naik, Anggi berbicara, “Saya, Anggia Serenia Quindindha, undur diri dari rapat kali ini. Bila saya tetap berada di sini, mungkin kepala saya bisa meledak. Tidak, tidak. Kepala saya memang sebentar lagi akan meledak,” lalu ia melayangkan satu tatapan tajam pada Alvaro.
Ucapannya sangat sinis, membuat pengurus OSIS lain tidak mampu berkutik. Cewek dengan rambut hitam legam itu berdiri dari tempat duduknya dan berderap keluar ruangan.
Sesaat, ruangan hening sebelum akhirnya pecah dengan gerutu dan helaan napas lega. Beberapa dari mereka memang takut sekaligus kesal dengan Anggi. Tapi mau bagaimanapun, kalimat ‘Jangan cari masalah dengan Anggi, kecuali lo Alvaro’ sepertinya melekat erat sehingga tidak ada yang berani untuk memprotes sikap sewenang-wenangnya.