Apakah Elisa sekejam itu?
Pertanyaan itu berputar-putar dalam benak Elisa, seperti nyanyian setan yang menggerogoti jiwanya. Ia kembali ke kamarnya, ruangan kecil yang kini terasa seperti penjara yang menyesakkan. Tubuhnya merosot ke lantai, punggungnya bersandar pada pintu yang baru saja dibanting oleh kakaknya. Di luar, ia bisa mendengar tangisan tertahan Ibunya. Tangisan yang memilukan, yang tidak pernah bisa ia abaikan. Tangisan yang selalu membuatnya merasa seperti monster.
Ia meraih ponselnya, jari-jarinya yang pendek dan gemetar mencari kontak Becky. Ia butuh suara Becky, butuh sedikit percikan air segar di tengah lautan api yang membakar hatinya.
“Halo, pecundang?” Suara ceria Becky menyambutnya.
Elisa hanya bisa terisak. Isakan yang teredam, takut didengar oleh Ibunya.
“Elisa? Ada apa? Kau baik-baik saja?” Nada suara Becky berubah khawatir.
“Becky… Marcus marah sekali. Ibu… Ibu menangis,” bisiknya, suaranya tercekat. “Tentang dokumen itu lagi.”
Ada jeda di seberang sana. Becky tahu betul dokumen apa yang dimaksud. Dokumen persetujuan donor ginjal dan seperempat hati untuk seorang konglomerat kaya yang keluarganya temui melalui perantara. Imbalannya adalah sejumlah besar uang—$600.000, yang bisa digunakan untuk membiayai kuliah kakaknya, Marcus, di Hosthon University, universitas impian yang nyaris tidak terjangkau bagi orang miskin seperti mereka.
“Dengar, Elisa,” kata Becky, suaranya tegas tapi lembut. “Jangan lakukan. Kau tidak boleh. Itu ginjalmu dan hatimu. Itu hidupmu. Kau berhak menjaganya.”
“Tapi… $600.000, Becky. Kau tahu betapa pentingnya itu bagi Marcus. Itu $600.000!”
“Dan kau hanya akan hidup dengan satu ginjal! Dan sebagaian hati! Dua organ yang kemungkinan besar memiliki komplikasi! Kau bahkan tidak bisa makan sembarangan! Mereka hanya melihatmu sebagai aset yang bisa dijual untuk melunasi utang keluarga dan mengirim anak emas mereka ke sekolah mahal! Kau bukan bank, Elisa!”
Kata-kata Becky menusuk, tapi itu adalah kebenaran yang pahit. Dalam keluarga, Marcus adalah bintang yang bersinar, anak emas yang cerdas dan tampan. Elisa? Ia hanyalah "si pendek, gendut, dan tidak berguna" yang menyusahkan. Satu-satunya nilai yang ia miliki sekarang adalah ginjal dan sebagian hatinya. .
Bisakah kau setidaknya berguna sedikit saja! Kalimat Marcus bergaung lagi.
Elisa memutus panggilan. Ia tidak bisa melanjutkan pembicaraan. Ia tidak ingin Becky membencinya karena apa yang akan ia lakukan.
Ia bangkit, kakinya terasa berat, seolah ia membawa beban dunia. Ia berjalan ke meja kecilnya, tempat amplop itu tergeletak. Amplop tebal berisi dokumen hukum, janji-janji uang, dan janji-janji masa depan cerah untuk keluarganya—masa depan cerah yang dibangun di atas pengorbanan tubuhnya.
Ia menarik keluar dokumen itu. Halaman demi halaman berisi jargon hukum yang rumit, tapi intinya jelas: Elisa Begie setuju mendonorkan ginjal dan seperempat hatinya.
Mata Elisa menyapu sekeliling kamarnya. Poster-poster pahlawan super yang ia sukai, buku-buku yang ia baca untuk melarikan diri dari kenyataan. Semua terasa dingin dan asing. Ia tidak punya tempat berlindung.
Ia membayangkan Marcus di Hosthon, mengenakan jas mahal, tersenyum bangga di samping teman-teman barunya yang kaya. Ia membayangkan Ibunya tidak lagi menangis memikirkan utang, Ayahnya tidak perlu lagi bekerja lembur hingga larut malam. Ia membayangkan kedamaian di rumah ini, kedamaian yang hanya bisa ia beli dengan satu organ tubuhnya.
Apakah $600.000 sebanding dengan sisa hidup yang "kurang"?
Apakah kebahagiaan mereka sebanding dengan keputusasaanku?
Elisa mengambil pulpen di laci. Tangannya bergetar hebat. Ia tahu betul apa yang akan terjadi jika ia menandatangani ini. Ia akan menjadi lebih rentan, lebih lemah, dan ia akan kehilangan satu-satunya alasan kuat untuk menolak. Jika ia menolak, ia adalah monster egois. Jika ia menerima, ia adalah malaikat pelindung keluarga.
"Aku akan melakukannya," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tidak bisa lagi menjadi alasan mereka menderita. Aku tidak tahan lagi dengan tatapan kecewa itu."
Elisa membalik ke halaman tanda tangan. Matanya tertuju pada baris kosong di atas namanya. Tanpa memikirkan risiko, tanpa memikirkan Becky, tanpa memikirkan apa pun kecuali untuk mengakhiri penderitaan batin ini, ia menarik napas dalam-dalam, menahan tangisnya, dan membubuhkan tanda tangannya di atas dokumen tersebut.
Elisa Begie.
Tanda tangan itu terlihat canggung, tapi itu nyata. Perjanjian telah dibuat. $600.000 untuk satu ginjal dan seperempat hatinya. Marcus akan kuliah. Keluarganya akan tersenyum. Dan ia… ia akan menjadi cacad di mata dunia, meski ia masih bisa berjalan. Tapi itu tidak penting. Yang penting, ia sudah berguna.