Arthur Chen berjalan menjauh dari kerumunan, langkahnya cepat dan tegap, seragamnya rapi tanpa noda. Tapi di balik postur sempurna itu, gempa kecil sedang terjadi. Jantungnya berdebar kencang, dan tangannya, yang tadi ia sembunyikan di saku celana, bergetar hebat.
Ia menuju toilet pria terdekat, menguncinya, dan segera membungkuk di depan wastafel. Air keran dingin ia biarkan mengalir. Arthur memercikkan air ke wajahnya berulang kali, berusaha memadamkan api kecemasan yang tiba-tiba berkobar.
Sampah itu.
Sialan, kenapa dia harus menyentuhku?
Arthur memejamkan mata, membiarkan air menetes dari ujung rambutnya. Ketika Elisa Begie menyentuhnya kemarin di lab, sentuhan spontan itu mengirimkan gelombang kejutan listrik yang begitu menjijikkan melalui sarafnya. Reaksi mendorongnya, yang begitu kuat hingga membuatnya jatuh, bukanlah ekspresi kebencian murni terhadap Elisa. Itu adalah reaksi trauma yang terprogram.
Ia benci dirinya sendiri karena reaksi itu. Ia tahu Elisa hanya mencoba membantu. Tapi sentuhan fisik dari lawan jenis terasa seperti ancaman serius, memicu kilas balik yang dingin dan menjijikkan dari empat bulan lalu.
Miss Ana.
Nama itu terasa seperti asam di lidahnya. Wanita cantik dan berbakat, yang telah merenggut kemurnian dan rasa aman-nya. Sentuhan Miss Ana yang lembut dan manipulatif, senyumnya yang mematikan, suara bisikannya yang penuh rayuan. Semua itu kini terulang setiap kali ada sentuhan tak terduga dari seorang wanita.
Ia adalah korban. Polisi merahasiakan namanya. Keluarganya—Ibunya yang mantan model dan Ayahnya si produser—menutupi insiden itu dengan tirai tebal kekayaan dan pengaruh. Di sekolah, ia tetaplah Arthur Chen yang sempurna, yang disegani, yang berhak melontarkan kalimat tajam.
“Sialan, bisa-bisanya kau menyentuhku.”
Ia masih bisa mendengar suaranya sendiri kemarin. Begitu kasar, begitu kejam. Tapi itu adalah satu-satunya cara ia bisa melindungi dirinya dari kepanikan. Sentuhan itu mengingatkannya bahwa ia adalah korban. Sentuhan itu mengingatkannya bahwa ia kotor.
Hari ini, di koridor, reaksi itu datang lagi. Melihat Elisa basah kuyup oleh susu cokelat, ia seharusnya merasa simpati. Sedikitnya, ia seharusnya merasa kasihan. Tapi ketika matanya bertemu dengan mata Elisa yang berkaca-kaca, ia merasakan gelombang panas yang tidak menyenangkan. Ia membayangkan bau amis susu dan telur itu, dan tiba-tiba, bau parfum Miss Ana yang manis dan memuakkan muncul di memorinya.
Dia tidak melihat Elisa yang menyedihkan. Dia melihat seorang wanita—seorang lawan jenis—yang sedang dalam kondisi rentan, dan hal itu memicu alarm bahaya di otaknya. Semakin rentan sang wanita, semakin besar bahaya yang ia rasakan. Itu adalah mekanisme pertahanan diri yang terdistorsi.
“Bisakah kalian menyelesaikan drama menjijikkan ini? Aku tidak ingin seragamku kotor oleh sampah ini.”
Kata-kata itu keluar begitu saja. Kata-kata yang ditujukan pada situasi, pada bau, pada suasana yang mengingatkannya pada ketidaknyamanan dan kontrol yang hilang, tapi mendarat sebagai penghinaan telak pada Elisa.
Arthur memukul dinding keramik di sampingnya, tidak terlalu keras, hanya cukup untuk melampiaskan frustrasinya. Ia bukan pembenci. Ia hanyalah pria yang terluka parah dan ketakutan. Ia membangun tembok es tebal di sekelilingnya, dan setiap orang, terutama wanita, yang mencoba mendekat, akan ditembak jatuh oleh kata-kata tajamnya atau tindakan menjijikkan.
Elisa Begie. Ia benar-benar tidak membenci gadis itu. Dia hanyalah salah satu gadis yang kebetulan berada di garis tembaknya. Faktanya, Arthur pernah beberapa kali memperhatikan Elisa di kelas. Dia memang tidak pintar dalam pergaulan, tapi dia pekerja keras. Dia melihat bagaimana Elisa mengerjakan tugas teman-temannya—sebuah tindakan yang bodoh dan eksploitatif—tapi dilakukan dengan ketekunan. Dia melihatnya. Tapi dia terlalu sibuk mempertahankan perannya sebagai Arthur Chen yang sempurna, yang tidak peduli pada hal-hal kecil, untuk mengakui keberadaan Elisa.
Sekarang, ia telah menghancurkannya. Menghancurkan Elisa, seperti ia menghancurkan dirinya sendiri setiap hari dengan berpura-pura baik-baik saja.