Bagaimana rasanya tertindih batu besar?
Bagaimana rasanya melihat aktivitas di sekeliling, tapi tidak bisa bergerak?
Dasa tengah merasakannya sekarang. Ia sadar, sekarang sedang berada di teras mushola sekolah, tidur (tepatnya: dipaksa tidur) telentang, dan bisa melihat teman-temannya yang hilir-mudik keluar-masuk mushola. Bahkan, Dasa bisa mendengar suara mereka dengan jelas. Namun, Dasa tidak bisa bergerak. Ada sesuatu di dadanya, menindihnya tanpa belas kasihan. Bukan batu. Bukan pula manusia iseng. Tapi makhluk berwujud laki-laki dewasa. Ia tidak punya mata dan hidung, tapi punya mulut. Mulutnya hanya digunakan untuk menyeringai. Sementara suaranya, tetap berada dalam kepala Dasa. Suaranya bisa tertawa, mengolok-olok, dan mengabsen kekurangan-kekurangan Dasa.
"Lo niat shalat?" Bibir makhluk itu tidak bergerak, masih menyeringai seperti saat ia muncul beberapa menit lalu, tapi suaranya menggema dalam kepala Dasa.
Lo nggak pintar banget nebak pikiran orang, cibir Dasa.
"Gue nanyanya cuma basa-basi. Dasa shalat, hah?" Tawa keras terurai di akhir kalimat makhluk itu. "Kalau lo shalat, kayaknya dunia bakal kiamat."
Diem! Kenapa lo nggak balik aja ke kepala gue trus ngoceh sepuasnya? Lo berat, tau!
Sambil mendekatkan kepalanya ke wajah Dasa, makhluk itu menyeringai makin lebar. Entah apa yang hendak ia lakukan, tapi tepukan pelan di pundak Dasa menggagalkan niatnya. Makhluk itu hilang dalam sekejap, dan tubuh Dasa yang tadinya sangat berat tiba-tiba menjadi ringan.
"Dasa? Pagi-pagi kok sudah mengkhayal?" tegur pak Sholih, guru agama Dasa, pun orang yang menepuk pundaknya tadi.
Mata Dasa mengerjap-ngerjap. Sesaat, penglihatannya masih blur, setelahnya mulai jelas. Senyum pak Sholih menyambutnya.
"Ayo berwudhu! Antriannya sudah tidak padat tuh," ucap pak Sholih sambil menunjuk ke arah tempat wudhu yang sudah lengang. Tinggal lima siswa yang sedang berwudhu di sana.
Dasa segera bangkit dari posisi berbaring, lalu duduk bersila di depan pak Sholih.
"Ayah saya sudah kaya, Pak." Jawaban Dasa sontak memperbanyak kerutan di dahi pak Sholih.
"Lah?"
"Tujuan shalat duha untuk meminta rezeki 'kan, Pak? Ayah saya tidak butuh doa dari saya. Duitnya sudah banyak.
"Ayah saya juga tidak pernah shalat duha. Tapi rezekinya tetap lancar. Jadi, ngapain saya harus shalat duha?"
"Yang bilang shalat duha untuk meminta rezeki siapa, Das?"
"Buku LKS yang Bapak bagikan," jawab Dasa singkat. Matanya menatap pak Sholih dengan sorot sungguh-sungguh. Dan kini, guru berusia 40-tahunan itu tersenyum sembari menepuk pundak Dasa.
"Ambil wudhu dulu sana. Kalau ada waktu, kita ngobrolin ini."
"Memangnya harus banget ikut shalat, ya, Pak?" tanya Dasa datar. "Kan tidak berpengaruh pada nilai agama."
"Kan memperbanyak amalan baik, Das. Shalat duha memang tidak wajib, tidak berdosa bila tidak dilakukan, tapi hukumnya sunnah, ibadah juga. Kita rugi loh, kalau menyepelekan perkara sunnah."
Dasa menghela sebelum berujar, "Saya tidak tahu berwudhu, Pak."
Pak Sholih tersenyum lagi. "Ayo, bapak ajarkan!" ucap beliau seraya berdiri sambil memberikan isyarat pada Dasa agar mengikutinya.
Dasa menghirup udara yang beredar di sekitarnya. Tatapannya lurus ke arah pak Sholih.
"Wudhu saja saya tidak tahu, Pak. Apalagi shalat," ucap Dasa yang akhirnya membuat pak Sholih mengangguk mahfum.
"Kamu ikuti gerakan bapak saja. Soal bacaannya, yang wajib cuma Al-Fatihah, tasyahud akhir, shalawat pada tasyahud akhir, dan salam yang pertama. Yang penting gerakannya lengkap dan kamu tuma'ninah."
Lagi-lagi Dasa menggeleng. "Tapi, Pak, saya cuma tahu salam."
Pak Sholih menghela napas berat sambil menatap iba ke arah Dasa. Siapa yang akan menyangka kalau hidup seorang Dasa Wardana yang bergelimang harta dan pemuja itu begitu hampa?
"Bapak tidak akan memaksa kamu. Tapi kalau kamu sudah siap belajar shalat, datang ke saya," ucap pak Sholih sembari menepuk pundak Dasa. "Nah, saya ke dalam dulu. Teman-teman kamu sudah menunggu."