Duduk bertopang dagu sambil mengamati sekeliling ... anggap saja Dasa lagi kurang kerjaan. Padahal ada bejibun pekerjaan rumah yang harus ia selesaikan minggu ini. Ditambah lagi pembagian kelompok serta tugas dari pak Anwar Sulaiman—beberapa saat lalu—yang menguras tenaga dan emosi Dasa. Tentang "Proses Masuk dan Berkembangnya Agama serta Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia".
Yang membuat Dasa bete bukan tugasnya. Bodo amat soal tugas. Bahkan, kalau teman kelompoknya tidak mau menulis namanya di sampul makalah kelompok mereka, no problem! Nunggak kelas dan tua di SMA gara-gara tugas sejarah tidak masalah buat Dasa. Namun, yang jadi masalah, Dasa harus sekelompok dengan orang yang selalu ia hindari dalam hidupnya.
Ralat. Terpaksa harus satu kelompok.
"Kelompok V, ketuanya Syaqilah Terra. Anggota: Ardina Gladisa, Sinyorita Yucaria Adalvino, Winarya Radutama, Muhammad Fatur Rahman, dan Dasa Warda—"
"Keberatan, Pak!" Dasa yang sedari tadi pura-pura tidur berdiri sambil mengacungkan tangan tinggi-tinggi.
"Maaf, Pak. Lebih baik saya kerja sendiri," lanjut Dasa.
"Tidak bisa, Dasa. Harus kerja kelompok."
"Kalau begitu, saya mau pindah kelompok!"
"Tidak bisa!" tegas pak Anwar.
"Bapak tidak boleh semena-mena dalam membuat keputusan. Meskipun status saya hanya murid, tapi saya berhak protes!"
"Kamu berhak protes dan saya berhak menolak protes kamu! Pilihan kamu hanya dua. Terima pembagian kelompoknya atau tidak ikut mata pelajaran saya."
Dasa menghela kasar sebelum angkat kaki dari kelas. Semua pasang mata yang tertuju pada Dasa tergerak mengikuti langkahnya. Dan tanpa Dasa sadari, Terra meminta izin pada pak Anwar untuk keluar kelas, mengejarnya, mendahului Gerald dan Junior yang hanya bisa melongo.
"Kamu baru saja menggali kuburan sendiri." Suara dingin Terra mengalun di telinga Dasa.
"Bukan urusan lo!" Dasa menimpali dengan suara bergetar. Amarahnya masih meletup.
"Dasa, guru itu orang tua kedua kita. Sebagaimana orang tua, kita pun harus mematuhi perintah guru. Apalagi Pak Anwar kepala sekolah."
"Nggak usah sok peduli!"