A Blessing in Disguise

Bambang
Chapter #10

9. Sebuah Usaha untuk Melupakan

Matahari sempoyongan menggapai ufuk barat, merangkak memeluk bumi dengan cahaya jingganya yang mulai pudar tertelan gelap. Dasa baru tiba dari rumah Terra, langsung pulang ke rumah tanpa menengok Gerald dan Junior di tempat tongkrongan mereka. Ah, pasti dua kutu itu sedang uring-uringan memikirkan Dasa. Tapi Dasa sangat lelah hari ini. Tangannya kaku karena menulis catatan berlembar-lembar. Punggungnya pun nyeri karena duduk berjam-jam. Ia hanya ingin tidur, meskipun hanya sebentar.

"Dari mana kamu?"

Seperti biasa, Rahardi memberikan sambutannya. Hampir tiap hari seperti itu, seakan dia memang sengaja menunggu Dasa pulang.

"Sampai kapan kamu akan keluyuran dan pulang malam terus?"

Langkah Dasa terhenti. Niatnya cuma sejenak, lalu melangkah pergi meninggalkan Rahardi. Karena kalau dibiarkan, ia bisa saja melawan ayahnya. Dasa sangat menghindari perdebatan dengan ayahnya.

Sayang, Dasa tidak diberi kesempatan untuk pergi. Rahardi terus mengoceh tanpa henti. Memuji Windu, membandingkannya dengan Dasa. Dan seterusnya ... dan seterusnya.

Dasa tidak benar-benar mendengarkan. Tiap kali ayahnya membandingkannya dengan Windu, Dasa akan menyanyi dalam hati. Lagu apa saja, hingga kata-kata ayahnya tenggelam begitu saja. Ia tidak punya hak untuk marah karena semua yang dikatakan oleh ayahnya benar. Tentang ia dan Windu. Tentang semuanya.

Semua, tanpa kecuali.

"Kapan kamu bisa seperti Windu?" Dan selalu kalimat itu yang tersisa. Bagaimanapun kerasnya usaha Dasa untuk tidak mendengarnya, selalu saja berhasil masuk ke dalam telinganya. Masuk telinga kanan, menerobos hingga ke hati, dan menetap dalam benak, tidak mau pergi.

"Dasa capek, Pa."

"Pantaslah capek kalau seharian kerjanya keluyuran. Coba kamu pulang tepat waktu, istirahat, lakukan kegiatan yang positif! Sampai kapan kamu akan begini terus? Kamu tidak akan jadi bocah SMA terus. Ada saatnya kamu akan dewasa dan punya tanggung jawab. Sudah saatnya kamu berpikir tentang masa depan."

Dasa menarik napas panjang dan menghelanya dalam-dalam. "Dasa permisi," ucapnya kalem. Ia tidak ingin menyulut konflik dengan ayahnya.

"Papa belum selesai bicara!" Tapi Rahardi selalu tersulut, seakan Dasa memang punya potensi membuat ayahnya marah—sekalipun ia hanya diam.

"Papa kenapa sih? Kalau ada masalah di kantor, jangan lampiaskan ke saya!" Dan kesabaran Dasa mulai terkikis. Ia lelah sekali. Butuh istirahat.

"Kamu—"

"Saya memang seperti Mama. Nggak berguna. Cuma nyusahin." Dasa menyela. Ia tahu, kalau kalimat itulah yang akan keluar dari bibir ayahnya, sama seperti hari-hari sebelumnya. Sama seperti bulan-bulan sebelumnya. Bahkan tahun-tahun sebelumnya.

Dasa sudah hafal mati, hingga mati. Setelah membandingkan Dasa dengan Windu yang sempurna tanpa cacat cela, jika ada kesempatan, Rahardi akan menyamakan Dasa dengan ibunya. Menyamakan Dasa dengan perempuan yang sudah mengkhianatinya.

"Saya minta maaf, Pa. Maaf karena saya mirip Mama." Gigi Dasa bergemeletuk. Ia benci kelakuan ibunya. Ia benci. Dan karena ayahnya menyamakannya dengan ibunya, maka ia pun diam-diam membenci dirinya sendiri. Ia telah terdistraski oleh kata-kata Rahardi selama bertahun-tahun yang men-judge-nya seperti ibunya.

Seperti.

Sama.

Persis.

"Pa, ajarin ini. Susah."

Windu yang tiba-tiba datang entah dari mana melingkarkan tangan ke pundak Rahardi sambil menatap Dasa dengan lurus. Dasa mengartikan sendiri tatapan itu. Windu menyuruhnya pergi.

"Yang mana?" tanya Rahardi sambil menarik buku yang dipegang Windu.

Lihat selengkapnya