A Blessing in Disguise

Bambang
Chapter #15

14. Masalah dan Masa Lalu

"Dasa, hari ini kita tidak les, ya."

Mata Dasa membulat kaget. "Serius? Lo abis kesambet apa?" tanyanya memastikan. 

"Serius."

"Kabar yang luar biasa. Akhirnya lo merdeka—"

"Sebagai gantinya, kamu ke pameran sejarah bersama saya."

"—in gue."

"Hah?" Mata Dasa membulat saat menyadari ucapan terakhir Terra. "Lo kalau mau ajak gue kencan nggak usah sembunyi di balik kata sejarah."

"Terserah kamu mau menganggapnya apa. Kalau mau menganggapnya kencan, oke, anggap saja kita berkencan."

Kalau ceweknya normal harusnya sudah gagap ditodong begitu oleh Dasa. Atau, minimalnya dia nge-blush. Tapi ini Terra gitu loh. Lihat saja ekspresi wajahnya saat mengatakan 'kencan'. Datar. Kalau begini, Dasa yang kehabisan kata-kata.

"Jadi bagaimana?" tanya Terra lagi.

"Bagaimana apanya? Meskipun gue nolak berkali-kali, lo pasti nggak akan nyerah buat maksa gue."

Terra tersenyum singkat. Hanya sekian detik. "Wow, Dasa kita sudah pintar."

"Gila lo," desis Dasa. "Kenapa terobsesi banget ngajarin gue sejarah sih? Gue nggak suka belajar sejarah."

"Belajar sejarah tidak hanya membuat kita berwawasan, tapi juga memotivasi kita untuk menjadi orang yang lebih baik."

Nyesel gue nanya. Liat aja, pasti dia bakal ngoceh nggak henti-henti kayak Pak Anwar Sulaiman.

"Dulu, Indonesia dijajah Belanda bukan karena rakyatnya lemah, bukan pula karena bodoh, tapi karena tidak berpendidikan.

"Dari belajar sejarah kita tahu, bahwa yang memulai perlawanan adalah kaum terpelajar. Yang memperjuangkan hak perempuan untuk cerdas juga kaum terpelajar.

"Dari belajar sejarah kita juga tahu, dulu pribumi dilarang pintar. Mereka hanya boleh sekolah sampai kelas tiga. Yang boleh lanjut hanya anak-anak bangsawan atau pribumi yang jadi 'kaki tangan' Belanda. Sekarang, tanpa memandang status, tiap anak boleh sekolah. Siapa pun mereka. Dari kalangan mana pun. Bahkan ada beasiswa untuk yang berprestasi.

"Dan dengan belajar sejarah, setidaknya, kita selalu bersyukur dan tidak menyia-nyiakan kemerdekaan yang kita dapatkan sekarang. Kemerdekaan yang diperjuangkan mati-matian oleh para pahlawan."

"Apa belajar sejarah juga bisa bikin perempuan meninggalkan suami dan anaknya karena termotivasi untuk hidup lebih baik?" tanya Dasa spontan. 

"Seperti yang pernah saya katakan, Dasa. Sejarah itu subjektif. Pandangan dan penerimaan orang terhadap sejarah juga subjektif. Kita kan diberikan akal untuk memilah dan memilih."

Terkadang, menurut Dasa, ucapan Terra tidak sesuai dengan umurnya. Mungkin saja, dalam diri Terra sebenarnya ada nenek-nenek yang bersemayam.

"Dulu Indonesia dijajah oleh nenek moyang lo. Sekarang, lo yang ngejajah SMA Merdeka. Udah jadi waketos, maksa wali kelas buat jadiin ketua kelas pula. Gue takut suatu hari nanti lo ngejajah Indonesia dan jadi presiden," ucap Dasa pedas dan sontak mendapat decakan dari Terra. Tapi Terra sama sekali tidak marah. Ia malah geli mendengar ucapan Dasa.

Terra sudah terbiasa mendengar pernyataan seperti itu. Saat SD dan SMP, tiap belajar sejarah kemerdekaan Indonesia, teman-teman kelasnya selalu mengejeknya 'penjajah' karena mata Terra yang mirip abinya, biru. Padahal dalam diri Terra juga mengalir darah pribumi totok uminya. Darah yang membuat Terra mencintai Indonesia tanpa cela.

"Lo juga ngejajah gue," ucap Dasa lagi.

Bukan cuma gue, seisi SMA Merdeka juga lo jajah, lanjut Dasa dalam hati.

Kesal

Tapi, meskipun kesal, Dasa tetap tidak berdaya menolak ajakan (read: paksaan) Terra untuk pergi ke pameran.

Kalau Dasa bisa kokoh sedikit saja menghadapi Terra, ia tidak akan berada di sini. Di trotoar, berjalan berdua dengan Terra, panas-panasan pula. Apalagi Terra menolak ajakan Dasa untuk naik motor bersama dengan alasan 'tempatnya dekat dan kita bukan mahram'. Meskipun Dasa lupa penjelasan lengkap tentang mahram, tapi dia menurut-menurut saja. 

"Dasa! Jalan kamu lambat sekali! Mau bertukar gender dengan saya?" Untuk pertama kalinya setelah berjalan entah berapa kian belas menit, Terra akhirnya bersuara.

Dasa mendengkus kesal. Terra tidak tahu saja, Dasa berjalan lambat untuk menghargai Terra. Konon kata Junior Lee, sohib Dasa yang punya gelar playboy, cewek tuh sangat lelet kalau jalan, kayak siput. Sedang cowok, karena kakinya panjang, jadi langkah mereka lebar-lebar. Dan hal ini membuat cewek-cewek menjadi bete. Kadang-kadang mengeluarkan jurus andalan (read: ngambek).

Nah, sekarang ini, Dasa hanya berusaha menerapkan ilmu 'percewekan' yang didapatkannya dari Junior itu pada Terra. Tapi Terra sepertinya bukan cewek. Karena bukannya tersanjung, malah minta tukaran gender.

"Percepat lagkah kamu! Masa kapten tim basket jalannya lambat?" omel Terra lagi. Kali ini sambil mengelap keringat. Kulit putihnya memerah, seperti udang rebus.

Melihat wajah Terra yang merah, Dasa jadi merasa bersalah—sedikit. Dan tanpa perintah dari otak, tangan Dasa bergerak sendiri membuka jaket, lalu menjatuhkannya ke kepala Terra.

Langkah Terra memelan. Ia menoleh ke arah Dasa, sedikit mendongak, dan menampakkan ekspresi bingung.

Lihat selengkapnya