Dasa pulang sendiri dari rumah sakit. Windu sudah memintanya menunggu, tapi Dasa tidak mau. Berbekal 'belas kasihan' Dokter Arman yang menelepon taksi serta mengongkosi, ia bisa pulang ke rumah dengan 'tak' tenang. Sejak pertengkarannya dengan Rahardi di depan Dokter Arman kemarin, ayahnya itu tak pernah muncul lagi. Dasa sadar diri, ia sudah membuat ayahnya murka.
Setelah sampai di rumah, Dasa segera menyusuri tangga untuk naik ke kamarnya di lantai dua. Dasa ingin mengadukan lelahnya pada tempat tidur dan bantal-bantalnya.
"Dia sudah pulang? Mana anak tidak berguna itu?"
Brak! Brak! Brak!
Dasa membuka mata. Pintu kamarnya sudah terdobrak. Dan wajah murka Rahardi menjadi pemandangan mengerikan di ambang pintu.
Dasa menggigit bibir. Meskipun ia tampak tenang, tapi jantungnya memompa darah dengan sangat keras.
"MASIH BERANI PULANG?!"
Bibir Dasa terbuka, tapi tak ada satu pun kata yang bisa ia ucapkan.
Rahardi melangkah ke arah Dasa. Cepat dan kasar.
"Di mana barang laknat itu?!" Rahardi membuka lemari dan mengeluarkan isinya hingga berserakan di lantai. Nihil.
Lalu ia bergerak ke meja belajar Dasa. Membuka tiap lembaran buku lalu melemparnya ke lantai. Nihil.
Rahardi mengerang kesal. Laptop, ponsel, dan alat-alat elektonik mahal di atas meja ia banting ke lantai hingga berhamburan menjadi berbagian-bagian.
"KAMU SIMPAN DI MANA?!"
Dasa tak menyahut. Ia membalas tatapan murka ayahnya dengan wajah datar. Tanpa kata. Tanpa ekspresi. Dan tanpa harapan apa-apa.
Pandangan Rahardi tertuju pada laci nakas di samping tempat tidur. Ia segera menarik laci. Kotak cokelat berhias ukiran aksara Jawa milik Fira bersembunyi dengan apik di sana. Tangannya bergerak tak sabar untuk membuka kotak itu. Berisi potongan cermin dan botok berisi pil-pil yang ia cari.
Rahardi mengambil botol itu. Sedang kotak ia lempar ke lantai hingga isinya berhamburan: foto-foto yang berhasil disembunyikan Dasa setelah Fira pergi. Foto-foto yang berhasil diselamatkan Dasa saat Rahardi membakar semua foto di rumah itu seperti orang gila.
"Berhenti hidup di masa lalu!" Rahardi segera memungut foto-foto itu dan meremasnya menjadi bulatan.
Dasa segera bangkit dari tempat tidur, mencoba merebut foto-foto dalam genggaman Rahardi. Hanya itu yang ia punya. Hanya itu kenangan ibunya yang tersisa.
"Tidak boleh ada satu pun foto perempuan itu di rumah ini!" Rahardi mendorong Dasa hingga nyaris jatuh. Lalu ia bergegas ke toilet, membuang 'pil ajaib' Dasa bersama foto yang tak keruan lagi bentuknya.
"Papa nggak punya hati!"
"KAMU YANG TIDAK PUNYA OTAK!"
"Papa cuma bisa menyalahkan! Harusnya Papa cari tau kenapa saya begini!"
Rahardi mengesah kasar. Ia benar-benar tak percaya, lagi-lagi Dasa melawannya.
"Jadi semuanya salah saya?!"