"DASA?!"
Suara Rahardi bergetar saat ia berhasil mendobrak pintu. Dadanya sedang gemuruh. Entah karena marah atau merasa bersalah, ia tidak tahu.
"Dasa?! Kamu di mana? Ayo pulang!" Suara Rahardi meninggi. Ia menggeram saat menyadari Dasa tak ada di dalam kamar.
Rahardi berbalik dan menatap nyalang ke arah Fira. "Kamu sembunyikan di mana anak saya?!"
"Aku tidak sembunyikan, Mas."
"Dia tidak ada di kamar ini! Pasti dia di kamar lain! Dia di kamar mana?!"
"Mungkin dia kabur karena dengar suara kamu!"
"Alasan!"
"Dia tidak mau tinggal sama kamu lagi, Mas. Memangnya siapa yang tahan hidup dengan laki-laki dingin dan temperamental seperti kamu?!"
"Lalu dia pantas hidup sama siapa?! Ayah kandungnya yang psycho itu?! Atau ibunya yang egois?"
"Oh, jadi dia pantasnya hidup dengan kamu? Kalau kamu perlakukan dia dengan baik, mana mungkin dia selalu merengek ingin ikut aku!"
Tangan Rahardi mengepal.
"Apa kamu sudah jadi ayah yang baik? Coba kamu renungkan baik-baik, kamu apakan Dasa selama ini hingga dia selalu mau ikut aku!"
"DIAM! Dia cuma tidak tahu bagaimana liciknya kamu."
"Kamu cuma bi—"
"Nyonya, gawat!"
Perdebatan Rahardi dan Fira terhenti oleh kedatangan bik Ima. Wajah perempuan paruh baya itu pucat.
"Den Dasa, Nya ...."
"Kenapa, Bik?" tanya Fira gusar.
"Den Dasa loncat dari balkon, Nya."
Bola mata Rahardi membelalak. Ia segera berlari menyusuri tangga dan keluar dari rumah Fira. Lututnya lemas seketika saat matanya menangkap tubuh Dasa yang bergerak tak terkendali, beserta busa putih yang terus-terusan keluar dari mulutnya.
Rahardi jatuh berlutut saat menyadari apa yang terjadi. Masalah Dasa bukan hanya loncat dari balkon, tapi anak itu juga overdosis.
Tinju Rahardi mengepal. Sialan, desisnya.
Rahardi kecolongan. Seandainya saja kemarin pagi ia mau menekan egonya dan tidak mendiami Dasa. Seandainya saja kalimat- kalimat menyakitkan itu tidak terucap dari bibirnya, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi.