Hidup seperti melempar dadu. Bahagia dan sedih datang tanpa prediksi. Maka hati manusia pun bisa berubah dengan mendadak. Seperti suasana hati Terra detik ini. Terombang-ambing antara senang dan sedih. Perasaan itu sangat menyiksanya. Bahkan ia tak punya alasan untuk bersedih. Orang tuanya tengah berbahagia. Mereka mendapatkan yang selama ini mereka nanti, restu dari keluarga besar Van Dedrick.
“Ter!” Terra tersentak, bersamaan dengan munculnya Sarah—ibunya—dari dapur.
“Koper sudah terkumpul semua?”
“Iya, Umi,” jawab Terra lirih. Untung anggukannya bisa dilihat dengan jelas oleh ibunya.
Ada lima koper di depannya. Satu koper khusus berisi ole-ole yang akan mereka bawa untuk keluarga besar Van Dedrick. Sarah sangat antusias, mengingat ini kali pertama ia akan bertemu mertuanya setelah 25 tahun menikah dengan Ahmad—nama suaminya setelah menjadi muallaf.
“Umi, Terra ingin ke suatu tempat dulu. Boleh?”
“Mau ke mana, Nak?” Kening Sarah mengernyit.
“Mau pamit sama teman yang dirawat di rumah sakit.”
“Minta izin sama Abi—”
“Kamu mau jenguk teman kamu itu lagi?” Kalimat Sarah terjeda oleh kedatangan suaminya.
“Iya, Abi.”
“Fii amanillah,” ucap Ahmad dengan selulas senyum pada akhir kalimatnya.
●●●
Sepanjang koridor hingga menyusuri lorong menuju ruang ICU, keraguan melingkupi Terra. Dua kubu yang bersemayam dalam hatinya berseteru antara pulang atau melanjutkan langkah.
Berbeda dengan hatinya, kakinya sepertinya punya pilihan sendiri. Karena sampai detik ini, di tengah keraguannya, Terra masih melangkah menuju ruang di mana Dasa sedang mempertaruhkan hidup.
Tulisan 'ICU' mulai terlihat. Perasaan Terra makin was-was. Seakan ia takut pada sesuatu yang ia sendiri tak tahu apa. Sesuatu yang timbul tenggelam dalam kepalanya dan berusaha ia lenyapkan.
Setelah mengucap basmalah, Terra membuka pintu ruang ICU.
Tak ada Windu lagi di sana. Terra melangkah mendekati ruangan yang sebelumnya ditempati Dasa, dan tirai hijau itu menutup sempurna.
Berkali-kali Terra beristighfar untuk mengenyahkan pikiran negatifnya. Tangannya sudah bergerak merogoh ponsel di saku gamisnya saat seseorang menyebut namanya.
Terra menoleh dan mendapati wajah kuyu Windu. Cowok itu masih menyempatkan untuk tersenyum meski lingkaran hitam di matanya malah memperburuk eskpresinya.
“Sudah lama, Ter? Gue dari mushola.”
“Baru saja kok.” Terra membalas senyum Windu. “Kamu sendirian, Win?”
“Iya. Mama belum datang. Papa lagi ngurus adminstrasi.”