Langkah Gerald makin cepat. Ia tak peduli lagi pada bunyi bel—pertanda jam istirahat kedua telah berakhir. Yang menjadi fokusnya sekarang, bagaimana caranya bertemu Ramon—untuk ke sekian kalinya.
Tak terhitung berapa kali Gerald dan Junior meminta Ramon menjenguk Dasa, tapi Ramon tetap berhati dingin.
Dan hari ini, saat Gerald mendapat kabar dari Windu kalau Dasa sudah dibawa pulang karena kondisinya tak ada kemajuan, Gerald kehilangan akal sehatnya.
Ramon sedang menikmati sebatang rokok saat Gerald menemukannya. Puntung-puntung rokok berserakan di dekat kakinya yang dibiarkan selonjoran. Bahkan rambutnya yang mulai memanjang dibiarkan jatuh menutupi mata.
“Ramon!”
Ramon mengangkat wajahnya sembari menatap malas pada Gerald. “Apa lagi? Lo mau maksa gue nemuin temen lo lagi? Kenapa? Dia udah jadi mayat? Lo mau nyuruh gue melayat?”
Tawa Ramon menggema setelah kalimatnya usai. Bukan gendang telinga Gerald yang pecah, tapi emosinya. Sambil menarik kerah seragam Ramon dan memaksanya berdiri, Gerald berteriak, “LO TUH, YA!”
“Lo ngapain buang-buang waktu kayak gini sih?” Ramon mendengkus.
“Gue cuma mau lo jenguk Dasa. Sekali aja!”
“Emangnya gue bisa ngerubah apa? Gue bisa ngerubah segalanya, gitu? Dia bakal sembuh kalo gue tengokin?”
“Gue nggak lakuin ini buat Dasa. Gue lakuin buat lo. Gue nggak mau lo nyesel.” Gerald melepaskan tangannya dari kerah seragam Ramon.
“Kehilangan sahabat bukan karena kematian aja rasanya sakit, Mon. Rasanya lo mau tukar separuh hidup lo buat kembali ke masa itu dan mencari cara agar sahabat lo tetep di sisi lo. Apalagi kalau kehilangan sahabat karena kematian.”
“Serah lo! Berenti nostalgia dan menggalau gila! Persahabatan kita kayak rokok ini,” ucap Ramon sembari melempar rokok yang diisapnya dan menginjaknya. “Tinggal ampas!
“So, gue nggak akan nyesel! Lo denger baik-baik, gue nggak akan nyesel!”
“Sahabat apaan lo?!” Gerald mendorong Ramon hingga punggungnya membentur tembok. Cowok itu terkejut diserang tiba-tiba. Ia mengerjapkan mata berkali-kali untuk menetralisir detak jantungnya sendiri.
“Sahabat apaan?” ucap Ramon lirih. Teramat lirih hingga nyaris terdengar seperti menggumam.
“Gue sahabat apaan? Lo lagi nanya?” Kelopak mata Ramon mengerjap. Tawanya meledak setelah itu.
“Ngapain lo masih nganggap gue sahabat? Gue udah nggak kaya lagi. See! Sekarang gue miskin. Gue udah nggak masuk dalam kategori pertemanan elit kalian.”
“Lo ngomong apaan sih? Lo tuh tetep sahabat kami sampai kapan pun.”
“Lo di mana saat gue terpuruk?! Junior ke mana?!” Nada Ramon naik beberapa oktaf.
“Saat bokap gue masuk penjara, nyokap gue masuk RSJ, dan gue kalang kabut nggak tau harus gimana buat ngidupin adek-adek gue, lo semua ke mana?”
Ramon mengepalkan tinjunya. “Dasa orang yang sangat gue percaya saat itu. Pertama kali gue dapat kabar tentang Bokap, dia satu-satunya orang yang gue kasih tau. Tapi liat yang dia lakuin ke gue. Dia nyebarin kalo gue anak koruptor!
“Gue dibuli abis-habisan, ditendang dari OSIS … semua mandang gue sebelah mata! Sahabat apaan itu?!”
“Jadi lo ngerusak persahabatan kita cuma karena praduga lo sendiri?! Lo harusnya nanya, nggak nuduh!”
“Saat berita tentang bokap gue nyebar di sekolah, media cetak dan elektronik belum nyiarin apa pun. Trus menurut lo, siapa yang nyebarin?”
“Gue rasa lo terlalu pinter buat berspekulasi sedangkal itu, Ray Monginsidi!” Gerald menggeleng kecewa.