A Blessing in Disguise

Bambang
Chapter #29

27. Selesai

Saat kau berada di ambang kehancuran, jatuh berkeping pada titik nadir, lihat siapa yang akan mengulurkan tangan untukmu. Lihat siapa yang akan memecahkan kaca pada bola matanya untukmu. Lihat siapa yang akan menyebut namamu berkali-kali meski kau tak pernah menjawabnya.

Tubuh kecil itu bergelung dengan rasa sakit setelah memuntahkan darah segar dari mulutnya. Seluruh tubuhnya kebas, tapi hatinya tidak.

Bocah itu menangis tanpa suara. Kaca-kaca pada bola matanya leleh, bergabung bersama darah yang lebih dahulu merembesi lantai semen. Hatinya sakit. Sangat sakit. Di tengah perjuangannya mempertahankan kesadaran, ia berjanji takkan melupakan rasa sakitnya. Bocah itu menanam benci dalam dadanya mulai hari itu. Sebelum matanya terpejam bersama air mata yang luruh, ia diliputi dendam. Ia berjanji akan menyimpan sakit hatinya rapat-rapat.

“Dasa!”

Kesadarannya berangsur pulih. Meski ia lupa caranya membuka mata, tapi telinganya tak lupa cara mengirim getaran ke otak, hingga terjemahlah suara itu. Suara yang asing dan hangat.

“Laki-laki berengsek itu sudah ditangkap polisi. Kamu sudah aman sekarang.” Suara laki-laki asing itu ....

“Kamu akan baik-baik saja. Kamu harus bertahan.”

Bocah itu terus menangis. Aroma cokelat menyeruak, dan rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Dasa?”

Suara asing itu ... Papa?

Saat Dasa menggapai kembali kesadaran sekaligus ingatannya, ia bisa merasakan air mata yang keluar dari kelopak matanya. Ia bisa merasakan pipinya menghangat karena bening itu meleleh di sana.

Dasa merasa lega. Mimpi buruknya yang terus berulang akhirnya berakhir.

Dasa bahkan bisa merasakan kelopak matanya. Dengan perlahan, ia membuka mata.

“Dasa?”

Pandangan Dasa terbias. Kabur. Tapi telinganya berfungsi dengan baik. Bahkan ia bisa mendengar teriakan Rahardi.

“Arman! Anakku sadar!”

Suara grasak-grusuk terdengar setelah Rahardi berteriak.

“Dia nangis! Dia buka mata! Dia sudah sadar, Man!”

“Belum, Har,” ucap Dokter Arman seusai memeriksa Dasa.

“Papa.

“Saya bisa dengar suara Papa.”

“Tapi—”

“Kita bicara di luar, Har.”

“Man, dia sudah sadar.”

“Sebaiknya kita bicarakan kondisi Dasa di luar.”

“Papa ...!” Dasa menjerit tertahan. Suaranya naik ke kepala. Memantul berkali-kali di dalam sana.

“Jangan pergi, Pa.”

Dasa ingin menangis lagi agar ayahnya tak pergi. Tapi ia sudah lupa bagaimana caranya menangis.

“Lo ditakdirkan sendirian!”

Suara itu ....

“Papa ..., Mama ..., tolong!”

“Lo nggak bisa lakuin apa-apa, bocah nggak guna!”

Dalam hitungan detik, wajah si pemilik suara menguasai pandangan Dasa. Tak ada lagi warna blur. Sekarang, yang memenuhi lensa mata Dasa hanya seringaian laki-laki yang selalu menyiksanya dalam mimpi. Seringaian pemilik suara yang hidup dalam kepalanya.

“Sudah saatnya lo ikut papah. Ayo, ikut papah, Nak! Kita ke neraka sama-sama.” Laki-laki tak bermata dan berhidung itu menyeringai. Gigi-gigi tajamnya bergesekan dan menimbulkan bunyi dengingan yang menyakitkan telinga.

"Sudah saatnya, Dasa," ucapnya lagi. Kali ini, tangannya mencekik leher Dasa.

Dasa tak mampu melakukan apa-apa. Bahkan sekadar menutup matanya agar tak bertabrakan dengan mata merah laki-laki itu.

“AYO!”

Lihat selengkapnya